Filsafat Aliran Tanah Suci

(Oleh YM Maha Bhiksu Hsing Yun)

Teman-teman se-Dharma, hari ini kita akan membahas Aliran Tanah Suci.

1.   Awal Mula Pemikiran Tanah Suci
Selama masa kehidupan Sang Buddha, ada seorang raja vernama Bimbisra yang dipenjara oleh putera mahkotanya sendiri, Pangeran Ajatasatru. Bahkan Ratu Vaidehi pun sulit bertemu dengan sang raja. Anak yang keras kepala ini kejam dan tidak mempunyai rasa berbakti. Ia merebut tahta dan memenjarakan sang raja. Raja Bimbisara merasa sangat sedih dan putus asa. Ia merasa prihatin atas Dunia Saha ini, yaitu dunia lima kemerosotan, yang penuh dengan penderitaan, setan-setan kelaparan, dan binatang. Ia berpikir dalam hati, “Oh, Buddha! Pada situasi sulit ini, mengapa Engkau tidak datang dan menolongku? Tunjukkanlah satu tempat berlindung yagn dapat menentramkan diriku yang letih ini!”

Ratu Vaidehi memohon untuk bertemu sang raja. Ajatasatru tidak mengijinkan Ratu Vaidehi membawa makanan kepada Raja Bimbisara. Raja Vaidehi dengan sedih melumuri madu dan tepung pada badannya untuk mengurangi rasa lapar sang raja. Pada saat tanpa harapan dan menyedihkan ini keduanya berdoa agar Buddha memberikan ajaran cinta kasih kepada mereka. Terjadilah seperti yagn mereka harapkan. Sang Buddha muncul didepan mereka melalui kekuatan gaib-Nya. Beliau berkata kepada Ratu Vaidehi dan Raja Bimbisara. “Pada jarak sepuluh juta milyar Tanah-tanah Buddha menuju barat dari Dunia Saha ini, terdapat sebuah dunia disebut kebahagiaan tertinggi, disana Buddha Amitabha sedang mengajarkan Dharma. Tidak ada penderitaan dalam dunia Amitabha. Itu adalah tempat yang paling suci, paling aman, dan paling membahagiakan. Anda hanya perlu membaca nama Buddha Amitabha. Buddha Amitabha akan menggunakan kekuatan tekad mulia-Nya untuk memanggil mereka yang menyebut nama-Nya untuk terlahir kembali di Tanah Suci”.

Setelah mendengar ajaran Sang Buddha, Raja Bimbisara dan Ratu Vaidehi mulai membaca berulang-ulang nam Amitabha. Sebuah hanmparan tanah yang terang dan bersih benar-benar muncul di depan mata mereka. Ini benar-benar Tanah Suci Amitabha yang membahagiakan. Ini merupakan awal mula filosofi Tanah Suci.

2.     Dasar Filosofi Tanah Suci
Filosofi Tanah Suci bukan hanya milik Aliran Tanah Suci, ataupun hanya dibatasi oleh tiga sutra dan sebuah sastra. Sutra Sukhavati Vyuha, Sutra Amitayus, Sutra Amitabha, dan Sastra Tanah Suci. Sebenarnya, banyak sutra dan sastra Mahayana menjelaskan filosofi dan latihan aliran Tanah Suci.

Kita dapat melacak pemikiran Tanah Suci dari kata-kata agung Sang Buddha

a.     Kita mengenal eksistensi Tanah Suci dari kata-kata agung Sang Buddha
Eksistensi sebuah objek tidak dapat ditentukan hanya oleh ucapakn kita bahwa objek itu ada dan tidak ada. Kita perlu memiliki kriteria yang benar untuk menentukan eksistensinya secara objektif. Sebagai contoh, anggaplah saya berkata bahwa ada sebuah bangku di sana. Tidak seorangpun akan menyangkalnya karena kita tahu bahwa bangku ini ada sebagai hasil dari kesimpulan langsung. Atau, anggaplah saya mengatakan bahwa ada seseorang disana. Meskipun saya tidak mendengar suara orang itu, saya dapat mengetahui dengan mendengar suaranya. Oleh karena itu, saya tahu seseorang ada di sana.

Jika kita ingin mengetahui panjang sebuah objek, kita harus mengukurnya dengan sebuah penggaris; jika ingin mengetahui berat sebuah benda, kita harus menimbangnya dengan neraca. Jenis pengukuran ini disebut kesimpulan dari hasil perbandingan. Jenis pengukuran lainnya yang dapat kita gunakan untuk menentukan apakah sesuatu benda ada atau tidak yaitu dengan menyimpulkan dari sabda-sanbda agung orang-orang bijaksana. Seorang yang mulia tentu saja memiliki kebijaksanaan agung. Apapun yang ia katakan tidak mungkin salah sehingga kita seharusnya mempercayai kata-katanya.

Sang Buddha berkata dalam Amitabha Sutra, “Menuju arah barat dari dunai ini pada jarak sepuluh juta milyar Tanah Budha, terdapat sebuah dunia yagn disebut Kebahagiaan Tertinggi, di sana ada seorang Buddha bernama Amitabha yagn sedang mengajarkan Dharma”.

Sang Buddha adalah seorang yang mulia. Apa pun yang beliau katakan tidak bisa salah. Salah satu dari tiga puluh dua ciri-ciri khusus seorang Buddha adalah lidah-Nya yang besar dan panjang. Jika diulurkan, lidah-Nya akan menutupi hidung dan wajah-Nya. Beliau memiliki ciri-ciri khusus seperti itu karena beliay tidak pernah berbohong. Oleh sebab itu, ketika Sang Buddha mengatakan kepada kita bahwa terdapat Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi di alam semesta ini, pernyataan-Nya itu benar-benar dapat dipercaya.

b.     Kita mengetahui eksistensi Tanah Suci dari kejadian nyata orang-orang yang terlahir kembali di sana.
Dalam catatan para bijak Tanah Suci, banyak kejadian orang-orang yang terlahir kembali di Tnaha Suci dibuktikan kebenarannya. Sebagai contoh, Mahabhiksu Hui Yuan, Sesepuh perintis Aliran Tanah Suci, yang mengatur pembacaan berkelompok atas nama-nama Buddha, secara pribadi melihat penjelmaan Amitabha tiga kali!

Setiap saat nama Buddha Amitabha diupcakan oleh Bhiksu Shan Tao dari dinasti T’ang, seberkas cahaya akan terpancar dari mulutnya. Apabila ia menyebut nama Buddha Amitabha sepuluh kali, sepuluh berkas cahaya terpancar dari mulutnya. Seratus berkas cahaya akan terpancar dan mulutnya jika ia menyebut nama Buddha Amitabha seratus kali. Oleh karena itu, ia juga disebut Bhikshu Kecemerlangan.

Bhikshu Yin Kuang membaca berulang-ulang nama Buddha Amitabha sepanjang hidupnya. la mampu meramalkan kapan ia akan meninggal dunia.

Di antara orang-orang yang membacakan berulang-ulang nama Buddha Amitabha, ada yang dapat meramalkan kapan mereka akan meninggal dunia; beberapa di antaranya dapat melihat Amitabha Buddha mengajak mereka secara pribadi; ada yang dapat mencium wangi aneh di kamar mereka. Peristiwa peristiwa seperti ini hanya terjadi pada mereka yang melatih ajaran Tanah Suci. Mereka dapat terlahir kembali di Tanah Suci saat mereka telah mencapai kesempurnaan latihan pembacaan berulang-ulang nama Buddha Amitabha. Ini adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang biasa.

c.     Kita mengetahui eksistensi Tanah Suci dengan bukti ilmiah
Dari bukti ilmiah saat ini, kita ketahui bahwa ada sistem tata surya yang lain, di samping galaksi kita sendiri, dan terdapat banyak galaksi lain, selain yang kita tinggali. Alam semesta tidak terbatas luasnya; hal ini di luar imajinasi’ umat manusia. Dengan kata lain, banyak terdapat dunia-dunia, selain planet Bumi kita.

Sebenarnya, kita tidak mernbutuhkan penemuan-penemuan dari ilmuwan-ilmuwan modem untuk membuktikan bahwa ada sistem tata surya lain di alam semesta. Dalam sutra Buddha, ada suatu cerita yang menarik. Ketika Buddha Sakyamuni sedang membabarkan Dharma, getaran suara-Nya mencapai dunia tanpa batas yang berada sangat jauh dari tempat-Nya itu. Salah seorang siswa Sang Buddha, Maudgalyayana, yang paling terkenal karena kekuatan gaibnya, merasa ragu bahwa suara Sang Buddha dapat mencapai tempat yang begitu jauhnya. la pun menggunakan kekuatan gaibnya untuk pergi ke Tanah Buddha yang jauhnya satu milyar Tanah Buddha. Di tempat itu, Tathagata Lokesvararaja sedang membabarkan Dharma. Pada saat itu, seorang pendengar menangkap sesuatu di tubuhnya dan berseru, “Bagaimana mungkin seekor cacing kecil merayap di tubuhku ini?”

Tathagatha Lokesvararaja berkata, “Itu bukan seekor cacing, itu adalah Maudgalyayana, siswa Buddha Sakyamuni dari Dunia Saha.” Sebenarnya, tubuh Maudgalyayana tidak kecil, tetapi bila dibandingkan dengan orang-orang di dunia Itu, ia hanyalah seukuran cacing yang kecil. Akan tetapi, di Dunia Saha, ia adalah siswa utama Sang Buddha untuk perihal kekuatan gaib. Sang Buddha berkata kepadanya, “Kebajikan seluruh Buddha bukanlah hal yang dapat dipahami sravaka. Kamu seharusnya tidak mencobal mereka dengan menggunakan kekuatan gaibmu.” Sejak saat itu, Maudgalyayana benar-benar yakin bahwa ada dunia tanpa batas dan para Buddha di angkasa.

3.     Tanah Suci-Tanah Suci yang Berbeda.
a.     Tanah Suci yang khusus dari ajaran Mahayana.
Tanah Suci yang khusus dari ajaran Mahayana dapat dibagi menjadi Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi Buddha Amitabha dan Tanah Suci Kristal Bhaisajya Guru (Buddha Pengobatan). Dari antara keduanya, Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi Buddha Amitabha yang lebih banyak menarik perhatian.

Meskipun seluruh sutra dan sastra menunjukkan bahwa cara-cara yang disarankan oleh Tanah Suci seluruh Buddha dari sepuluh penjuru sangat mudah diikuti, Tanah Suci Amitabha-lah yang paling patut dipuji dan luar biasa. Seseorang hanya perlu menyebut bemlang-ulang nama Buddha Amitabha untuk bisa terlahir kembali di Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi. Keistimewaan khusus Buddha Amitabha adalah ketika Beliau sedang berlatih di Tanah Sebab Akibat, Beliau membuat empat puluh delapan tekad agung. Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi terwujud karena kebajikan tekad cinta kasih-Nya. Beliau berikrar bahwa siapapun yang mempercayai kekuatan tekad Buddha Amitabha dan ingin terlahir kembali di Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi harus menyebut berulang-ulang nama Buddha Amitabha selama satu hari, dua hart, atau bahkan hanya sepuluh kali. Jika orang tersebut tulus dan dapat menyebut nama Buddha Amitabha dengan pikiran yang terpusatkan pada satu titik, ia akan terlahir kembali di Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi melalui kekuatan Buddha Amitabha. Meskipun seseorang yang terlahir kembali itu masih menanggung beban karma, dengan berlatih di Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi, berapa pun lamanya, ia akan terbebas dan lingkaran kehidupan yang berulang-ulang dan akan mencapai Bodhi Tertinggi. Oleh karena itu, dikatakan bahwa Tanah Suci Amitabha Buddha adalah yang paling luar biasa.

Yang satu lagi adalah Tanah Suci Kristal Bhaisajya Guru di bagian timur. Tanah Suci Buddha Amitabha adalah lambang dari pengembalian dan penyimpanan, sementara Tanah Suci Bhaisajya Guru adalah lambang pertumbuhan. Dikatakan di dalam sutra, “Ketika BhaisaJya Guru berada di Tanah Sebab Akibat, Beliau menyatakan dua belas tekad besar atas dasar sikap cinta kasih-Nya. Oleh karena tekad agung ini, Beliau mewujudkan Tanah Suci Kristal di timur.” Satu hal yang luar biasa tentang Sutra Bhaisajya Guru adalah mengenai isi sutra itu yang menguraikan bahwa mereka yang menyebut nama Bhaisajya Guru juga dapat terlahir kembali di Tanah Suci Buddha Amitabha di barat jika mereka begitu menginginkannya.

b.     Tanah Suci yang umum bagi Triyana
Tanah Suci yang biasa dalam Triyana (Tiga Kendaraan) adalah Nirvana, Mereka yang berlatih Triyana cenderung menuju keselamatan diri; mereka berlatih menurut tingkat-tingkat latihan, melenyapkan semua kekotoran, menyadari kebenaran dan terbebas dari kelahiran dan kematian. Meskipun Tanah Suci yang mereka sadari memiliki nilai kebebasan yang sama, sama seperti semua sungai yang memasuki laut akan memiliki rasa asin yang sama, keadaan pikiran mereka tetap pada tingkat pembebasan diri. Memang benar bahwa mereka tidak menciptakan karma baru lagi dan tidak akan mengalami penderitaan sebagai akibat dart kelahiran dan kematian lagi, tetapi mereka harus mengejar suatu keadaan yang lebih tinggi. Tanah Suci Triyana bukanlah tujuan akhir, melainkan hanyasebagai batu loncatan menuju keadaan yang lebih tinggi, Tanah Suci KebahagiaanTertinggi, yang harus mereka capai melalui penyebutan berulang-ulang nama Buddha.

c.     Tanah Suci yang umum bagi Pancayana
Tanah Suci yang umum bagi Pancayana (Lima Kendaraan) adalah Tanah Suci Tusita Bodhisattva Maitreya. Sakyamuni Buddha telah m~ramalkan bahwa Bodhisattva Maitreya akan menjadi Buddha men- datang di dunia inl. Sekarang ini, Beliau sedang mengajar di Surga Tusita, yang juga dikenal sebagai bagian dalam Tusita. Jika seseorang menginginkan untuk terlahir kembali di Tanah Suci Tusita, ia akan melihat Bodhisattva Maitreya dan mengikuti-Nya terlahir kembali di dunia ini, Dengan demikian, ia akan melihat Buddha dan akan dapat mendengarkan ajaran- Nya.

d.     Tanah Suci di Bumi.
Suatu contoh Tanah Suci di Bumi adalah yang digambarkan dalam Sutra Vimalakirti. Meskipun Vimalakirti hidup. di Dunia Saha, batinnya berada di Tanah Suci.

Beberapa orang mengatakan bahwa Surga menurut agama Kristen sama dengan Tanah Suci dalam agama Buddha. Sebenarnya, keduanya tidak sama. Bhikshu YinShun menggunakan tiga aspek berikut ini untuk membandingkan Tanah Suci dengan Surga:

i.     Persamaan mutlak tanpa perbedaan kelas.
Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi menganut sistem persamaan mutlak, tanpa perbedaan kelas. Jadi, berbeda dengan di Surga, yaitu Tuhan adalah Tuhan dan orang-orang di Surga tidak akan pernah menjadi Tuhan, semua orang di Tanah Suci dapat menjadi Buddha tanpa diskriminasi.

ii.     Latihan bertingkat, bukan tujuan akhir.
Orang-orang Kristen percaya bahwa masuk ke Surga adalah tujuan akhir, keadaan batin yang tertinggi. Akan tetapi, dalam agama Buddha, setelah mencapai Tanah Suci, seseorang masih perlu berlatih terus-menerus hingga bunga teratai, tempat ia dilahir- kan-kembali, mekar. Dengan demikian, seseorang melihat Buddha, mendengarkan Dharma, dan berlatih sampai mencapai tingkat Kebuddhaan. Hanya dengan begitulah, pencapaian kebatinan seseorang disebut lengkap.

iii.     Kemajuan, bukan kemunduran.
Jika seseorang mencapai Tanah Suci, ia tidak akan pernah mundur lagi. Hal ini sangat berbeda dari Surga yang diyakini umat Kristen. Surga Kristen sama dengan Surga Tusita, yaitu Tanah Suci yang umum di dalam Pancayana yang bukan Tanah Suci yang khusus dalam ajaran Mahayana. Mereka yang terlahir kernbali di Surga ini, meskipun Raja Tusita, akan mengalami kemunduran apabila lima tanda kehancuran muncul dalam diri mereka.

Di antara berbagai Tanah Suci dalam agama Buddha, Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi Buddha Amitabha dari ajaran Mahayana yang khusus adalah yang paling luar biasa. Meskipun ada Tanah Suci ajaran umum Triyana, mereka cenderung menuju penyelamatan diri. Meskipun ada Tanah Suci Maitreya yang dekat, mudah dicapai, dan terbuka bagi semua, Tanah Suci ini kurang memberikan kesempatan bagi “penyelesaian dalam satu kehidupan” yang terdapat dalam ajaran Tanah Suci Amitabha. Lagipula, Tanah Suci Maitreya terdapat di dalam Surga Tusita, yang masih terletak di dalam tiga alam, sedangkan seseorang yang terlahir kembali di Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi tidak akan pernah mundur kembali.

Terhadap Tanah Suci Mahayana, Tanah Suci surgawi, atau Tanah Suci duniawi, orang-orang biasanya menggunakan kata “Surga” sebagai istilah yang populer untuk Tanah Suci. Saya seringkali mendengar orang-orang bertanya, “Di manakah Surga itu dan dimanakah Neraka itu?” Pertanyaan ini mencakup, “Dimanakah Tanah Suci itu? Dan apakah Tanah Suci itu ada?” Mengenai tempat Surga dan Neraka, ada tiga hal yang ingin saya kemukakan:
i.     Surga ada di Surga dan Neraka ada di Neraka
ii.     Surga dan Neraka ada di alam manusia

Banyak orang menikmati pahala, kebajikan, dan keadan sebab akibat yagn baik; mereka menjalani suatu kehidupan yang tenang dan bahagia. Apakah ini bukan kehidupan di Surga? Banyak orang harus menderita penyakit mental seperti kesengsaraan dan kekhwatiran; mereka harus menahan penyakit tubu fisik, seperti sakit dan luka. Bukankah itu kehiduoan di Neraka?

iii.     Surga dan Neraka ada dalam pikiran seseorang.
Ada orang yang menyimpan rasa dendam, yang tidak pernah puas, yang memiliki keragu-raguan, keserakahan, amarah dan khayalan. Inilah Neraka. Jika kita dapat melupakan orang yang benar dan bersalah dalam hidup ini; jika kita dapat mengembangkan pikiran kita dan menerima segala sesuatu; jika kita dapat memberi dengan tulus kepada yang lain; jika kita dapat memuji yang lain dengan pikiran yang bahagia; jika kita dapat menunjukkan sikap belas kasih kepada yang lain, inilah Surga. Sekarang, karena kita belum terlahir kembali di Tanah Suci Kebahagiaan Tertinggi dan tinggal bersama Buddha Amitabha, seharusnya kita bekerja sama untuk mengubah Dunia Saha ini menjadi Tanah Suci di Bumi. Jika kita ingin membangun sebuah Tanah Suci, kitaharus memulainya dengan pikiran kita. Kita harus melenyapkan lima belenggu keinginan dan enam kekotoran batin. “Jika pikiran bersih, tanah yang terbentuk juga akan bersih”.

Suatu kali, Sariputra berkata kepada Sang Buddha, “Tanah-Tanah Buddha di sepuluh penjuru, sernuanya sangat bersih. Mengapa Dunia Saha kita begitu kotor dan tidak murni?”

“Kamu tidak dapat memahami dunia tempat Aku tinggal,” jawab Sang Buddha. Saat berbicara, Sang Buddha menekan bumi dengan jari kaki-Nya. Tiba tiba, dunia menjadi cemerlang, bersih, dan indah sekali. Sang Buddha berkata, “Inilah dunia yang Aku tinggali.” Orang-orang mungkin berada di tempat yang sama pada saat yang sama dan melakukan hal yang sama, tetapi mereka bisa saja memiliki perasaan yang berbeda karena perbedaan-perbedaan dunia internal mereka.