Ajaran Zen Bodhidharma

(oleh Bodhidharma)

Intisari dari Sang Jalan adalah ketidakmelekatan (pelepasan). Dan tujuan dari praktik tersebut adalah kebebasan dari penampilan. Sutra-sutra berkata, Ketidakmelekatan adalah pencerahan sebab menghilangkan penampilan. Kebuddhaan berarti kesadaran. Para fana yang pikirannya sadar meraih Jalan Pencerahan dan dengan demikian disebut sebagai Buddha. Sutra-sutra berkata, “Mereka yang membebaskan dirinya dari semua penampilan disebut sebagai Buddha.” Penampilan dari penampilan sebagai tanpa-penampilan tidak bisa dilihat dengan mata namun hanya bisa diketahui dengan melalui kebijaksanaan. Siapapun yang mendengar dan meyakini ajaran ini menaiki Kereta Besar (Mahayana) dan meninggalkan ketiga alam. Ketiga alam tersebut adalah keserakahan, kemarahan dan delusi (kegelapan batin atau khayal). Meninggalkan ketiga alam berarti berpaling dari keserakahan, kemarahan dan delusi, kemudian kembali ke moralitas (sila), meditasi (samadhi) dan kebijaksanaan (prajna). Keserakahan, kemarahan dan delusi tidak memiliki hakikat-sejati dalam dirinya. Mereka tergantung pada yang fana. Dan siapapun yang mampu merefleksi adalah keluar dari batas untuk melihat bahwa hakikat-dasar dari keserakahan, kemarahan dan delusi adalah hakikat-dasar Kebuddhaan. Di luar keserakahan, kemarahan dan delusi tidak ada hakikat-dasar Kebuddhaan yang lainnya.  Sutra-sutra berkata, “Para Buddha hanya menjadi Buddha jika hidup dengan ketiga racun dan memeliharanya pada Dharma murni.” Ketiga racun adalah keserakahan, kemarahan, dan delusi.

Kendaraan Besar adalah yang terbesar dari semua kendaraan (yana). Ia adalah kendaraan Para Bodhisattva, yang menggunakan segalanya tanpa menggunakan apapun dan yang berpindah terus menerus tanpa berpindah. Yang demikian adalah kendaraan Para Buddha.

Sutra-sutra berkata, “Tanpa kendaraan adalah kendaraan Para Buddha.”

Siapapun yang menyadari bahwa keenam indera tidak nyata, bahwa kelima skandha adalah fiksi, tidak ada hal demikian yang bisa ditemukan di dalam tubuh, memahami bahasa Para Buddha. Sutra-sutra berkata, “Gua dari kelima skandha adalah aula Zen (Dhyana). Terbukanya mata batin adalah pintu Kendaraan Besar.” Apakah yang lebih jelas?

Tidak berpikir apapun adalah Zen. Saat kamu memahami ini, berjalan, berdiri, duduk atau berbaring, apapun yang kamu lakukan adalah Zen. Mengetahui bahwa pikiran adalah kekosongan sama dengan melihat Buddha. Para Buddha di kesepuluh arah tidak memiliki pikiran. Melihat tanpa-pikiran adalah melihat Buddha.

Mengorbankan diri sendiri tanpa penyesalan adalah praktik dana yang terbesar. Melampaui gerak dan diam adalah meditasi tertinggi. Para fana tetap bergerak, dan Para Arahat tetap tenang. Namun meditasi tertinggi berada di atas keduanya, para fana dan Para Arahat tersebut. Orang yang meraih pemahaman demikian membebaskan dirinya dari semua penampilan tanpa usaha dan menyembuhkan semua penyakit tanpa pengobatan. Yang demikian adalah kekuatan dari Zen yang agung.

Menggunakan pikiran untuk mencari realitas adalah delusi. Tidak menggunakan pikiran untuk mencari realitas adalah kesadaran. Membebasakan diri sendiri dari kata-kata adalah pembebasan. Kokoh tanpa tercemar oleh debu sensasi adalah menjaga Dharma. Melampaui kehidupan dan kematian adalah meninggalkan rumah.

Tanpa menderita akibat keberadaan yang lain adalah mencapai Sang Jalan. Tanpa menghasilkan delusi adalah pencerahan. Tanpa terjebak dalam ketidaktahuan adalah kebijaksanaan. Tanpa penderitaan adalah nirvana, dan tanpa penampilan pikiran adalah pantai seberang.

Ketika kamu masih tercemar, pantai ini ada. Ketika kamu bangun, ia tidak ada. Para fana tetap tinggal di pantai ini. Namun mereka yang menemukan yang terbesar di antara semua kendaraan,  tidak tinggal di pantai ini maupun pantai seberang. Mereka mampu untuk meninggalkan kedua pantai. Mereka yang melihat pantai seberang berbeda dari pantai ini tidak memahami Zen.

Delusi berarti kefanaan. Dan kesadaran berarti Kebuddhaan. Mereka tidak sama. Dan mereka tidak berbeda. Hanya manusialah yang memisahkan antara delusi dari kesadaran. Ketika kita terjebak dalam khayal terdapat sebuah dunia untuk melarikan diri. Ketika kita sadar, tidak ada apapun untuk dihindari.

Dalam cahaya Dharma tanpa-bias, para fana tidak berbeda dari para bijak. Sutra-sutra berkata bahwa Dharma tanpa-bias adalah sesuatu yang tidak bisa ditembus oleh para fana dan tidak bisa dipraktikkan oleh para bijak. Dharma tanpa-bias hanya dipraktikkan oleh Para Bodhisattva-Mahasattva dan Para Buddha. Melihat dengan membedakan antara kehidupan dari kematian atau membedakan antara gerak dari ketenangan adalah menjadi bias. Menjadi tanpa bias berarti melihat pada penderitaan tidak berbeda dari nirvana, karena hakikat keduanya adalah kekosongan.
Dengan membayangkan bahwa mereka mengakhiri penderitaan dan mencapai Nirvana Para Arahat berakhir dengan terperangkap oleh Nirvana. Namun Para Bodhisattva mengetahui bahwa penderitaan pada dasarnya adalah kosong, dan dengan tetap dalam kekosongan mereka tetap berada dalam Nirvana. Nirvana berarti tanpa kelahiran dan tanpa kematian. Ia melampaui kelahiran dan kematian serta melampaui Nirvana. Ketika pikiran berhenti bergerak, ia memasuki Nirvana. Nirvana adalah pikiran yang kosong. Ketika delusi tidak ada, Para Buddha mencapai Nirvana. Di mana penderitaan tidak ada, Para Bodhisattva memasuki tempat pencerahan. Sebuah tempat yang tanpa penghuni adalah tempat yang tanpa keserakahan, kemarahan atau delusi. Keserakahan adalah alam dari hasrat-keinginan, kemarahan adalah alam dari wujud, dan delusi adalah alam tanpa-wujud. Ketika pikiran muncul, kamu memasuki ketiga alam. Ketika pikiran berakhir, kamu meninggalkan ketiga alam. Awal atau akhir dari ketiga alam, keberadaan dan ketidakberadaan segala sesuatu, bergantung pada pikiran. Hal ini bisa diterapkan untuk apapun, bahkan untuk benda mati seperti batu dan kayu.

Siapa yang mengetahui bahwa pikiran adalah palsu dan sama sekali tanpa sesuatu yang nyata mengetahui bahwa pikirannya sendiri bukan ada juga bukan tiada. Para fana terus menerus menciptakan pikiran, mengakuinya sebagai yang ada. Dan Para Arahat terus-menerus meniadakan pikiran, mengakunya sebagai sesuatu yang tiada. Namun Para Bodhisattva dan Buddha tidak menciptakan ataupun meniadakan pikiran. Inilah apa yang dimaksud dengan pikiran itu bukan ada juga bukan tiada. Pikiran yang bukan ada juga bukan tiada itu disebut sebagai Jalan Tengah.

Jika kamu menggunakan pikiranmu untuk mempelajari kenyataan, kamu tidak akan memahami baik pikiran mu ataupun kenyataan. Jika kamu mempelajari kenyataan tanpa menggunakan pikiranmu, kamu akan memahami keduanya. Mereka yang tidak-memahami tidak memahami pemahaman, dan mereka yang memahami, memahami tidak-memahami. Orang yang memiliki penglihatan sejati mengetahui pikiran adalah kosong. Mereka melampaui memahami dan tidak-memahami. Ketiadaan keduanya, memahami dan tidak-memahami adalah pemahaman yang sejati. Melihat dengan penglihatan sejati, wujud bukanlah hanya wujud, karena wujud bergantung pada pikiran. Dan pikiran bukanlah hanya pikiran, karena pikiran bergantung pada wujud. Pikiran dan wujud saling menciptakan dan meniadakan satu sama lain. Apa yang ada menjadi ada terkait dengan yang tidak ada. Dan apa yang tidak ada menjadi tidak ada terkait dengan yang ada. Inilah penglihatan sejati. Dengan melalui penglihatan demikian tiada yang terlihat dan tiada yang tak-terlihat. Penglihatan demikian melampaui sepuluh arah tanpa melihat: karena tidak ada sesuatu yang terlihat; sebab tanpa-melihat adalah melihat; sebab melihat bukanlah melihat. Apa yang para fana lihat adalah khayalan. Penglihatan sejati tak-melekat pada melihat. Pikiran dan dunia adalah bertentangan, dan penglihatan muncul ketika keduanya bertemu. Ketika pikiranmu tidak tumbuh di dalam, dunia tidak muncul di luar. Ketika dunia dan pikiran keduanya menjadi terawang, inilah penglihatan sejati. Dan pemahaman demikian adalah pemahaman sejati.

Tidak melihat apapun adalah mengenali Sang Jalan, dan tidak memahami apapun adalah mengetahui Dharma, karena melihat adalah bukan melihat juga bukan tidak melihat dan karena memahami adalah bukan memahami juga bukan tidak-memahami. Melihat tanpa-melihat adalah penglihatan sejati. Memahami tanpa-memahami adalah pemahaman sejati.

Penglihatan sejati tidak hanya melihat melihat. Ia juga melihat tidak-melihat. Dan pemahaman sejati tidak hanya memahami memahami. Ia juga memahami tidak-memahami. Jika kamu hanya memahami segala sesuatu, kamu tidak memahami. Hanya jika tidak ada yang kamu pahami ini adalah pemahaman sejati. Memahami adalah bukan memahami juga bukan tidak-memahami.

Sutra-sutra berkata, “Tidak melepaskan kebijaksanaan adalah kebodohan.” Ketika pikiran tidak ada, memahami dan tidak-memahami adalah benar keduanya. Ketika pikiran muncul, memahami dan tidak-memahami keduanya keliru. Ketika kau paham, realitas bergantung padamu. Ketika kamu tidak paham, kamu bergantung pada realitas. Ketika realitas bergantung padamu, apa yang menjadi tidak nyata menjadi nyata. Ketika kamu bergantung pada realitas, apa yang nyata menjadi keliru. Ketika kamu bergantung pada realitas, segala sesuatu menjadi salah. Ketika realitas bergantung padamu, segala sesuatu menjadi benar. Oleh sebab itu, para bijak tidak menggunakan pikirannya untuk mencari realitas, atau realitas mencari pikirannya, pikirannya untuk mencari pikirannya, atau realitas untuk mencari realitas. Pikirannya tidak menyebabkan tumbuhnya realitas. Dan realitas tidak menumbuhkan pikirannya. Dan karena baik pikiran dan realitas keduanya tetap diam, ia senantiasa dalam Samadhi (ketenangan).

Saat pikiran fana muncul, Kebuddhaan menghilang. Saat pikiran fana menghilang, Kebuddhaan muncul. Ketika pikiran muncul, realitas menghilang. Ketika pikiran menghilang, realitas muncul. Siapapun yang mengetahui bahwa tidak ada apapun bergantung pada tidak ada apapun telah menemukan Sang Jalan, dan siapa saja yang tahu bahwa pikiran bergantung pada tidak ada sesuatupun senantiasa berada dalam pencerahan.

Ketika kamu tidak memahami, kamu salah. Ketika kamu memahami, kamu tidak salah. Hal ini karena hakikat dari salah adalah kosong. Ketika kamu tidak memahami benar terlihat salah. Ketika kamu memahami, salah adalah salah, karena salah tidak ada. Sutra-sutra berkata, “Tidak ada memiliki sifatnya sendiri. “ Bertindak. Jangan bertanya. Ketika kamu bertanya, kamu salah. Salah adalah hasil dari pertanyaan. Saat kamu mencapai pemahaman demikian, perilaku salahmu di masa lalu tersapu habis. Ketika kamu terjebak dalam khayal, keenam indera dan kelima selubung (panca skandha) adalah konstruksi penderitaan dan kefanaan. Ketika kamu bangun keenam indera dan kelima selubung adalah konstruksi dari Nirvana dan keabadian.

Siapapun yang mencari Sang Jalan tidak mencari di luar dirinya. Ia tahu bahwa pikiran adalah Sang Jalan. Namun ketika ia memukan pikiran, ia tidak menemukan apapun. Dan ketika ia menemukan Sang Jalan, ia tidak menemukan apapun. Jika kamu mengira kamu bisa menggunakan pikiran untuk menemukan Sang Jalan, kamu diliputi khayal. Ketika kamu diliputi khayal, Kebuddhaan ada. Ketika kamu sadar, ia tidak ada. Hal ini disebabkan oleh kesadaran sendiri adalah Kebuddhaan.

sobat-dharma:
Jika kamu mencari Sang Jalan, Sang Jalan tidak akan muncul hingga tubuhmu menghilang. Seperti melepas kulit kayu dari pohon. Tubuh terikat karma ini mengalami perubahan terus menerus. Ia tidak memiliki realitas yang menetap. Berpraktik menurut pemikiranmu. Jangan membenci kehidupan dan kematian atau mencintai kehidupan dan kematian. Jaga setiap pikiranmu bebas dari delusi, dan dalam kehidupan kamu akan menyaksikan awal dari Nirvana dan dalam kematian kamu akan mengalami ketenangan tanpa kelahiran kembali.

Melihat wujud namun tidak tercemar oleh wujud atau mendengar bunyi namun tidak tercemar oleh bunyi adalah pembebasan. Mata yang tidak terikat pada wujud adalah pintu Zen. Singkatnya, mereka yang mengamati keberadaan dan hakikat sejati dari fenomena serta tetap tidak terikat, terbebaskan. Mereka yang mengamati [hanya] penampilan eksternal berada dalam belas kasih mereka. Tidak menjadi sasaran dari penderitaan adalah apa yang dimaksud sebagai pembebasan. Ketika kamu tahu bagaimana cara melihat wujud, wujud tidak menumbuhkan pikiran dan pikiran tidak menumbuhkan wujud. Wujud dan pikiran keduanya adalah murni.

Ketika delusi tiada, pikiran adalah alam Para Buddha. Ketika delusi hadir, pikiran adalah neraka. Para fana menciptakan delusi. Dan dengan menggunakan pikiran untuk melahirkan pikiran mereka selalu menemukan dirinya di dalam neraka. Para Bodhisattva melihat melalui delusi. Dan tanpa menggunakan pikiran untuk melahirkan pikiran mereka senantiasa berada dalam alam Para Buddha. Jika kamu tidak menggunakan pikiran untuk menciptakan pikiran, setiap tahap pikiran adalah kosong dan setiap pemikiran terhenti. Kamu berpergian dari alam-buddha satu ke yang lainnya. Jika kamu menggunakan pikiranmu untuk menciptakan pikiran, setiap tahap pikiran menjadi terganggu dan setiap pemikiran berada dalam gerak. Kamu berpergian dari satu neraka ke neraka berikutnya. Ketika pikiran muncul, terdapat karma baik dan karma buruk, surga dan neraka. Ketika tiada pikiran yang muncul, tidak ada karma baik atau karma buruk, tiada surga dan neraka.

Tubuh itu tidak ada tidak juga tidak ada. Karena itu keberadaan sebagai yang fana dan tanpa-keberadaan sebagai yang bijak adalah konsepsi di mana di luar jangkauan seorang bijak. Hatinya kosong dan lowong seperti langit. Hal demikian adalah hasil dari pengamatan pada Sang Jalan. Ini di luar pemahaman Para Arahat dan para fana.

Ketika pikiran mencapai Nirvana, kamu tidak melihat Nirvana, karena pikiran adalah Nirvana. Jika kamu melihat Nirvana berada di suatu tempat di luar pikiran, kamu sedang menipu dirimu sendiri.

Setiap penderitaan adalah benih-Kebuddhaan, sebab penderitaan mendorong para fana untuk mencari kebijaksanaan. Namun kamu hanya bisa mengatakan bahwa penderitaan membangkitkan Kebuddhaan. Kamu tidak bisa mengatakan penderitaan adalah Kebuddhaan. Tubuh dan pikiranmu adalah ladangnya. Penderitaan adalah benihnya. Kebijaksanaan adalah tunasnya, dan Kebuddhaan butir padinya. Buddha dalam pikiran laksana harum dari sebuah pohon. Buddha berasal dari pikiran bebas penderitaan, sama seperti bau harum berasal dari sebuah pohon yang bebas dari pembusukan. Tidak ada bau harum tanpa pohon dan tidak ada Buddha tanpa pikiran. Jika ada bau harum tanpa sebuah pohon, ini adalah bau harum yang berbeda. Jika ada Buddha tanpa pikiranmu, ia adalah Buddha yang berbeda.

Ketika tiga racun muncul dalam pikiranmu, kau berada dalam alam kotoran. Ketika ketiga racun tidak muncul dalam pikiranmu, kamu berada dalam alam kemurnian. Sutra-sutra berkata, “Jika kamu mengisi sebuah tanah dengan ketidakmurnian dan kotoran, tidak akan ada Buddha yang akan muncul.” Ketidakmurnian dan kotoran merujuk pada racun-racun. Buddha merujuk pada pikiran yang murni dan tersadarkan.

Tidak ada bahasa yang bukan Dharma. Berbicara sepanjang hari tanpa mengatakan sesuatu adalah Sang Jalan. Diam sepanjang hari dan masih mengatakan sesuatu bukanlah Sang Jalan. Dengan demikian kata-kata Tathagata tidak bergantung pada keheningan, juga keheningan-Nya tidak bergantung pada kata-kata, demikian juga tidak kata-kata-Nya tetap ada terpisah dari keheningan. Mereka yang paham, kata-kata dan keheningan, keduanya adalah Samadhi. Jika kamu berbicara saat kamu tahu, kata-katamu adalah bebas. Jika kamu diam saat kamu tidak tahu, keheninganmu adalah ikatan. Jika kata-kata tidak terikat pada penampilan, ia bebas. Jika keheningan terikat pada penampilan, ia terikat. Bahasa pada dasarnya adalah bebas. Bahasa tidak ada kaitannya dengan kemelekatan. Dan kemelekatan tidak ada kaitannya dengan bahasa. Realitas tidak memiliki tinggi atau rendah. Jika kamu melihat tinggi atau rendah, itu tidak nyata. Sebuah rakit tidak nyata. Namun penumpang rakit nyata. Seseorang yang mengemudikan rakit demikian bisa menyeberangi sesuatu yang tidak nyata. Itulah sebabnya itu nyata.

Menurut dunia terdapat laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin. Menurut Sang Jalan, tidak ada laki-laku atau perempuan, kaya atau miskin. Ketika para dewi merealisasi sang Jalan, ia tidak mengganti jenis kelaminnya. Ketika anak laki-laki penjaga kandang sadar akan kebenarannya, ia tidak mengganti statusnya. Bebas dari jenis kelamin dan status, mereka memiliki penampilan dasar yang sama. Para dewi mencari selama dua belas tahun demi kewanitaannya tanpa hasil. Mencari selama dua belas tahun demi kejantanan seseorang akan sama saja tanpa hasil. Kedua belas tahun menunjukkan kedua belas pintu masuk.

Tanpa pikiran tiada Buddha. Tanpa Buddha tiada pikiran. Serupa dengan, tanpa air tiada es, dan tanpa es tiada air. Siapapun yang berbicara tentang pikiran tidak akan mendalami. Jangan terikat pada penampilan dari pikiran. Sutra-sutra berkata, “Ketika kamu melihat tanpa-penampilan, kamu melihat Buddha.” Ini yang dimaksud dengan menjadi bebas dari penampilan pikiran. Tanpa pikiran tiada Buddha bermakna bahwa Buddha berasal dari pikiran. Pikiran melahirkan Buddha. Namun meskipun Buddha berasal dari pikiran, pikiran tidak berasal dari Buddha, seperti halnya ikan berasal dari air, namun air tidak berasal dari ikan. Siapapun yang ingin melihat ikan melihat air terlebih dahulu sebelum ia melihat ikan. Dan siapapun ingin melihat Buddha melihat pikiran terlebih dahulu sebelum ia melihat Buddha. Saat kamu melihat ikan, kamu melupakan airnya. Dan saat kamu melihat Buddha, kamu melupakan pikiran. Jika kamu tidak melupakan pikiran, pikiran akan membingungkanmu, seperti air akan mengacaukanmu jika kamu tidak melupakannya.

Kefanaan dan Kebuddhaan laksana air dan es. Menderita akibat tiga racun adalah kefanaan. Termurnikan oleh tiga pelepasan adalah Kebuddhaan. Yang membeku menjadi es pada musim dingin meleleh menjadi air di musim panas. Singkirkan es dan tidak ada air lagi. Singkirkan kefanaan dan tidak ada lagi Kebuddhaan. Jelasnya, hakikat dari es adalah hakikat dari air. Dan hakikat dari air adalah hakikat dari es. Dan hakikat dari kefanaan adalah hakikat Kebuddhaan. Kefanaan dan Kebuddhaan memiliki hakikat yang sama, seperti halnya Wutou dan Futzu memiliki akar yang sama namun musim yang berbeda. Hanya karena delusi akan perbedaan yang disebabkan kita memiliki kata “kefanaan” dan “Kebuddhaan.” Ketika ular berubah menjadi naga, tidak merubah ukurannya. Dan ketika yang fana menjadi bijak, ia tidak merubah wajahnya. Ia mengetahui pikirannya melalui kebijaksaan internalnya dan merawat tubuhnya melalui disiplin eksternal.

Para fana membebaskan Para Buddha dan Para Buddha membebaskan para fana. Ini yang dimaksud ‘denfan’ ketanpa-biasan. Para fana membebaskan Para Buddha karena penderitaan menciptakan kesadaran. Dan Para Buddha membebaskan para fana karena kesadaran menghilangkan penderitaan. Tidak ada yang membantu kecuali penderitaan. Dan tidak ada yang membantu kecuali kesadaran. Jika kita tidak menderita, tidak akan ada sesuatu yang menghasilkan kesadaran, dan jika tidak ada kesadaran, tidak akan ada sesuatu yang menghilangkan penderitaan. Ketika kamu terjebak dalam khayal, Para Buddha membebaskan para fana. Ketika kamu sadar, para fana membebaskan Para Buddha. Para Buddha tidak menjadi Buddha kareana mereka sendiri. Mereka dibebaskan oleh para fana. Para Buddha menganggap delusi sebagai ayah mereka dan keserakahan sebagai ibu mereka. Delusi dan keserakahan adalah nama lain dari kefanaan. Delusi dan kefanaan seperti tangan kiri dan tangan kanan. Tidak ada perbedaan lainnya.

Ketika kamu terjebak dalam delusi (khayal), kamu berada di pantai ini. Ketika kamu sadar, kamu berada di pantai lainnya. Namun saat kamu mengetahui pikiranmu adalah kosong dan kamu melihat tidak ada penampilan, kamu berada di luar batas delusi dan kesadaran. Dan saat kamu berada di luar batas delusi dan kesadaran, pantai yang lain tidak ada. Tathagata tidak berada di pantai ini ataupun pantai seberang, dan Ia tidak ada di separuh jalan. Para Arahat berada di separuh jalan dan para fana berada di pantai ini. Di pantai seberang adalah Kebuddhaan. Para Buddha memiliki tiga tubuh: Tubuh Transformasi (Nirmanakāya), Tubuh Hadiah (Sambhogakāya), dan Tubuh Sejati (Dharmakāya). Tubuh Transformasi juga disebut sebagai tubuh inkarnasi. Tubuh Transformasi muncul ketika para fana melakukan perbuatan baik, Tubuh Hadiah hadir ketika mereka merenungkan kebijaksanaan, dan Tubuh Sejati muncul ketika mereka sadar akan yang mahamulia. Tubuh Transformasi adalah yang kamu lihat sebagai terbang ke segala arah membebaskan yang lain kapanpun Ia bisa. Tubuh Hadiah mengakhiri keraguan-keraguan. Pencerahan Agung yang terjadi di Himalaya seketika menjadi benar. Tubuh Sejati tidak tidak melakukan atau berkata apapun. Ia tetap dalam keheningan sempurna. Namun sebenarnya, tidak ada satupun tubuh-buddha, kurang dari tiga. Ajaran tentang ketiga tubuh berdasarkan pada tingkat pemahaman manusia –yang dangkal, menengah, atau mendalam. Orang dengan pemahaman dangkal membayangkan mereka menimbun berkah dan mengelirukan (keliru)Tubuh Transformasi sebagai Sang Buddha. Orang dengan pemahaman menengah membayangkan bahwa mereka mengakhiri penderitaan dan mengelirukan (keliru) Tubuh Hadiah sebagai Buddha, dan orang dengan pemahaman mendalam membayangkan mereka menyelami Kebuddhaan dan keliru menganggap Tubuh Sejati sebagai Buddha.

Namun orang dengan pemahaman terdalam berada di antaranya, tidak terganggu oleh apapun. Dikarenakan pikiran yang jernih adalah Buddha mereka mencapai pemahaman Buddha tanpa menggunakan pikiran. Ketiga tubuh, seperti semua hal lainnya, tak-tercapai dan tak-terlukiskan. Pikiran tanpa-halangan mencapai Sang Jalan. Sutra-sutra berkata, “Para Buddha tidak mengkhotbahkan Dharma. Mereka tidak membebaskan para fana. Dan mereka tidak menyelami Kebuddhaan.” Inilah yang saya maksud. Individu menciptakan karma; karma tidak menciptakan individu. Mereka menciptakan karma dalam kehidupan ini dan menerima akibatnya di kehidupan selanjutnya. Mereka tidak pernah menghindar. Hanya seseorang yang secara sempurna tidak menciptakan karma dalam kehidupan ini dan tidak menerima akibatnya. Sutra-sutra berkata, “Siapa yang tidak menciptakan karma mencapai Dharma.” Ini bukanlah kata-kata kosong. Kamu bisa menciptakan karma namun kamu tidak bisa menciptakan orang. Ketika kamu menciptakan karma, kamu terlahir kembali dengan karmamu. Ketika kamu tidak menciptakan karma, kamu hilang bersama dengan karmamu. Dengan demikian, karena karma bergantung pada individu dan individu bergantung pada karma, jika seorang individu tidak menciptakan karma, karma tidak berkuasa atasnya. Dengan cara yang sama, “Manusia bisa memperluas Sang Jalan. Sang jalan tidak bisa memperluas seorang manusia.”

Para fana terus menciptakan karma dan secara keliru bersikeras bahwa tidak ada akibat. Namun bisakah mereka menolak penderitaan? Bisakah mereka menolak bahwa apa yang keadaan pikiran saat ini taburkan akan dituai oleh pikiran selanjutnya? Bagaimana mereka melarikan diri? Namun jika keadaan pikiran saat ini tidak menaburkan apapun, pikiran selanjutnya tidak menuai apapun. Jangan menyalahartikan karma.

Sutra-sutra berkata, “Meskipun meyakini Para Buddha, orang yang mengira Para Buddha mempraktikkan kekerasan bukanlah Buddhis. Hal yang sama berlaku juga untuk mereka yang membayangkan bahwa Para Buddha adalah masalah kesejahteraan atau kemiskinan. Mereka adalah icchantika (sangat dungu, tidak berkeyakinan dan tidak bisa bahkan tidak mau menerima ajaran). Mereka tidak memiliki keyakinan.” Seseorang yang memahami ajaran dari para bijak adalah seorang bijak. Seseorang yang memahami ajaran para fana adalah seorang fana. Seorang fana bisa meninggalkan ajaran para fana dan mengikuti ajaran para bijak sehingga menjadi orang bijak. Namun para dungu di dunia ini lebih suka mencari orang bijak ke mana-mana. Mereka tidak percaya aan kebijaksanaan pikiran mereka adalah sang bijak itu sendiri. Sutra-sutra berkata, “Di antara manusia yang tidak memiliki pemahaman, jangan mengkhotbahkan sutra ini.” Dan sutra-sutra berkata, “Pikiran adalah ajaran.” Namun orang yang tidak memiliki pemahaman tidak yakin akan pikiran mereka atau bahwa dengan memahami ajaran ini mereka bisa menjadi seorang bijak. Mereka lebih suka mencari pengetahuan yang jauh dan dahaga akan benda-benda dalam ruang, gambar-Buddha, lilin, dupa, dan warna-warni. Mereka menjadi mangsa kesesatan dan kehilangan pikiran mereka hingga menjadi gila.

Sutra-sutra berkata, “Ketika kamu melihat bahwa semua penampilan itu tanpa-penampilan, kamu melihat Tathagata.” Pintu tak terhitung jumlahnya ke kebenaran semuanya berasal dari pikiran. Ketika penampilan pikiran menjadi terawang seperti ruang, mereka lenyap. Penderitaan tanpa akhir kita adalah akar dari penyakit. Ketika para fana hidup, mereka takut akan kematian. Ketika mereka kenyang, mereka cemas akan lapar. Mereka adalah Ketidakpastian Mahabesar. Namun para bijak tidak memikirkan masa lalu. Dan mereka tidak cemas tentang masa depan. Tidak juga mereka melekat pada masa kini. Dan dari momen ke momen mereka mengikuti Sang Jalan. Jika kamu tidak juga tersadarkan akan kebenaran agung ini, kamu sebaiknya mencari seorang guru di bumi atau surga. Jangan memperparah kekuranganmu.