Bodhidharma, Garis Besar Praktik

By Tonny

Banyak jalur yang mengarah ke Sang Jalan,[i] namun pada hakikatnya hanya ada dua: prinsip dan praktik. Memasuki melalui prinsip berarti mencapai intisari melalui petunjuk dan meyakini semua makhluk hidup memiliki hakikat yang sama, yang tak terlihat dikarenakan terselubung oleh sensasi dan delusi. Mereka yang berpaling dari delusi kembali ke realitas, bermeditasi menatap tembok,[ii] tanpa-timbulnya diri dan orang lain, manunggal antara yang fana dan yang bijak, serta tetap teguh tak terusik bahkan oleh sutra-sutra berada dalam kondisi yang hening dan sempurna selaras dengan prinsip. Tanpa gerak, tanpa usaha, mereka masuk melalui prinsip.

Memasuki melalui praktik merujuk pada empat praktik[iii] yang meliputi: mengalami ketidakadilan, beradaptasi dengan kondisi-kondisi, tidak mencari apapun, dan mempraktikkan Dharma.

Pertama, mengalami ketidakadilan. Tatkala mereka yang mencari Sang Jalan berada dalam kesulitan, seharusnya berpikir pada dirinya, “Untuk berabad-abad lampau yang tak terhingga, saya beralih dari hal yang hakiki ke hal yang remeh serta berkelana melintasi segala rupa kehidupan, seringkali marah tanpa sebab serta bersalah atas kejahatan yang tak terkira jumlahnya. Kini, kendatipun saya tidak melakukan suatu kesalahan, saya dihukum oleh masa lampauku. Tidak para dewa maupun manusia dapat menduga kala perbuatan jahat akan menanggung akibatnya. Saya menerimanya dengan hati terbuka dan tanpa mengeluh akan ketidakadilan.” Sutra menyebutkan, “Ketika engkau menjumpai kesulitan janganlah marah, karena sudah semestinya.” Melalui pemahaman demikian engkau akan selaras dengan kebijaksanan. Dengan mengalami ketidakadilan, engkau akan memasuki Sang Jalan.

Kedua, beradaptasi dengan kondisi-kondisi. Sebagai makhluk fana, kita dikuasai oleh kondisi-kondisi, tidak oleh diri kita sendiri. Semua penderitaan dan kebahagiaan yang kita alami bergantung pada kondisi-kondisi. Jika kita diberkahi oleh beberapa ganjaran besar, seperti kemasyhuran atau keberuntungan, ini hanyalah buah dari benih yang telah ditanam oleh kita pada kehidupan yang lampau. Ketika kondisi berubah, ia berakhir. Mengapa mesti terlampau bersukacita dengan keadaan demikian? Kendati kesuksesan dan kegagalan bergantung pada kondisi-kondisi, batin tidak bertambah ataupun berkurang bahagianya. Mereka yang tetap tak-teralihkan oleh angin kebahagiaan, dengan hening mengikuti Sang Jalan.

Ketiga, tidak mencari apapun. Manusia di dunia ini teperdaya. Mereka selalu menginginkan sesuatu—selalu, dalam satu kata, mencari. Namun yang bijak tersadarkan. Mereka memilih kebijaksanaan dibanding kebiasaan. Mereka menyesuaikan batinnya dengan yang mahamulia dan membiarkan tubuh mereka berubah dengan berlalunya musim demi musim. Semua fenomena adalah kosong. Tubuh tidak berisi sesuatu yang layak diidamkan. Bencana selamanya datang silih berganti dengan kemakmuran.[iv] Tinggal di dalam tiga alam kehidupan[v] adalah berdiam di dalam rumah yang terbakar. Memiliki tubuh adalah penderitaan. Adakah yang masih bertubuh mengenal kedamaian? Mereka yang memahami hal ini, melepaskan dirinya dari segala keberadaan, serta berhenti membayang-bayangkan atau mencari sesuatu. Sutra berkata, “Mencari adalah penderitaan. Tidak mencari apapun adalah kebahagiaan.” Ketika engkau tidak mencari apapun, engkau sedang berada di dalam Sang Jalan.

Keempat, mempraktikkan Dharma.[vi] Dharma adalah kebenaran bahwa seluruh hakikat adalah murni. Dari kebenaran ini, semua penampilan adalah kosong. Ketercemaran dan kemelekatan, subyek dan obyek tidak eksis. Sutra menyebutkan, “Dharma tidak meliputi makhluk hidup karena ia bebas dari ketidakmurnian makhluk hidup, dan Dharma tidak meliputi diri karena ia bebas dari ketidakmurnian diri.” Mereka yang cukup bijak meyakini dan memahami bahwa kebenaran ini dibutuhkan untuk praktik yang sesuai dengan Dharma. Dan ketika dalam kenyataan tiada apapun yang pantas disesalkan, mereka menyerahkan tubuh, hidup dan harta bendanya sebagai praktik berdana dengan tiada sesal; tiada pemberi, pemberian dan penerima; serta tiada bias atau kemelekatan. Untuk menghilangkan ketidakmurnian, mereka mengajar orang lain, namun tanpa menjadi melekat pada wujud. Dengan demikian, melalui praktiknya sendiri, mereka mampu menolong orang lain dan mengikuti Jalan Pencerahan. Dan bersama dengan berdana, mereka juga mempraktikkan kebajikan lainnya. Namun sementara mempraktikkan enam kesempurnaan[vii] untuk menghilangkan delusi, mereka tidak mempraktikkan apapun. Inilah yang dimaksud sebagai mempraktikkan Dharma.
________________________________________
[i].     Jalan. Ketika Buddhisme datang ke Cina, Tao digunakan untuk menerjemahkan Dharma dan Bodhi. Ini tidak secara keseluruhan sebab Buddhisme dilihat sebagai versi asing dari Taoisme. Dalam “Khotbah Aliran-darah,” Bodhidharma berkata, “jalan adalah zen.”
[ii].  Tembok. Setelah kedatangannya ke Cina, Bodhidharma menghabiskan waktu sembilan tahun dalam meditasi menghadap tembok batu sebuah gua dekat Kuil Shaolin. Tembok kekosongan Bodhidharma menyatukan semua pertentangan-pertentangan, termasuk diri dan orang lain, fana dan bijak.
[iii]. Empat praktik. Ini adalah ragam dari Empat Kebenaran Mulia: semua keberadaan ditandai dengan penderitaan; penderitaan memiliki penyebab; penyebab dapat diakhiri; dan jalan untuk mengakhirinya adalah Jalan Arya Beruas Delapan yang terdiri dari pandangan benar, pikiran benar, perkataan benar, tindakan benar, penghidupan benar, upaya benar, perhatian benar, zen benar.
[iv]. Kemalangan…Keberuntungan. Dua dewi, bewenang atas keberuntungan baik dan buruk, secara berturut-turut. Mereka muncul dalam Bab Keduabelas Nirvana Sutra.
[v]. Ketiga alam. Ekuivalensi secara psikologis Buddhis dengan tiga dunia kosmologis dalam Brahmanis, bhur, bhuvah, dan svar, atau dunia, atmosfir, dan surga. Tiga dunia Buddhis meliputi kamadhatu, atau alam hasrat keinginan —neraka, empat benua manusia dan dunia hewan, serta keenam surga hasrat kesenangan; rupadhatu, atau alam wujud—keempat surga meditasi (dhyana, pen.); dan arupadhatu, atau alam tanpa wujud spirit murni—keempat tahap kekosongan atau non-material. Secara keseluruhan, ketiga alam mewakili batasan keberadaan. Dalam Bab Tiga Sutra Teratai, ketiga alam disimbolkan sebagai rumah yang sedang terbakar.
[vi]. Dharma. Kata Sansekerta untuk dharma berasal dari dhri, yang berarti memegang, dan merujuk pada segala sesuatu yang ‘dipegang’ sebagai nyata, apakah itu dalam pengertian sampingan ataupun dalam pengertian pokok. Itulah sebabnya, kata tersebut bisa diartikan sebagai sesuatu, ajaran, atau realitas.
[vii]. Enam kebajikan. Paramita atau jalan-antara ke pantai seberang: dana, moralitas, kesabaran, upaya, meditasi, dan kebijaksanaan. Seluruh keenamnya harus dipraktikkan dengan tanpa kemelekatan terhadap konsep pelaku, tindakan dan penerima.

Komentar tentang “2 Pintu Masuk dan 4 Praktik”
Oleh Master Sheng-yen (1930 – 2009).

Terdapat satu karya penting yang dikaitkan dengan Bodhidharma yang berjudul Dua Pintu Masuk dan Empat Praktik, di mana beliau menyebutkan dengan lebih eksplisit apa yang harus dilakukan oleh makhluk hidup agar dapat menyadari hakikat sejatinya. “Dua pintu masuk” terdiri dari memasuki melalui prinsip dan memasuki melalui praktik. Memasuki melalui prinsip berarti melihat secara langsung prinsip pertama, atau hakikat asal, tanpa bergantung pada kata-kata, deskripsi, konsep, pengalaman, atau proses berpikir. Memasuki melalui praktik mengacu pada melatih batin secara bertahap.

Bodhidharma menggambarkan memasuki melalui prinsip sebagai berikut: “Meninggalkan yang palsu, kembali ke yang sejati; tidak membeda-bedakan antara diri dan orang lain. Dalam perenungan, pikiran seseorang harus stabil dan tak bergerak, laksana tembok.”[1] Hal ini mungkin terdengar seperti cara gampang untuk langsung mencapai pencerahan, akan tetapi sebenarnya merupakan cara yang paling sulit. Jika kita mengira pencerahan Bodhidharma sendiri melalui pintu masuk melalui prinsip, maka kita harus mengatakan bahwa hal itu baru muncul setelah berpraktik sepanjang hidupnya, yang berpuncak pada sembilan tahun bermeditasi menghadap tembok di sebuah gua di Gunung Song. Sebenarnya, metode yang digunakan untuk mencapai memasuki melalui prinsip tepatnya ada pada frasa ini, “Pikiran seseorang harus stabil dan tak bergerak, laksana tembok.” Hal ini bukan berarti pikiran menjadi kosong, sebaliknya, pikiran menjadi waspada dan jernih, menerangi semuanya dengan kesadaran dan menanggapi dengan welas asih. Hal ini ideal, dan ini merupakan keadaan pikiran sebagaimana dimaksud dalam masuk melalui prinsip.

Pintu masuk kedua untuk mencapai realisasi adalah dengan praktik, yang terdiri dari empat: menerima akibat timbal-balik karma, beradaptasi dengan kondisi, tidak mencari, dan bersatu dengan Dharma. Setiap praktik itu semakin ke belakang semakin meningkat, sehingga mereka harus diikuti secara berurutan.

Praktik pertama, “menerima akibat timbal-balik karma,” berarti mengakui dampak dari karma beserta sebab dan akibat. Karma adalah sebuah istilah Sansekerta yang diterjemahkan secara harafiah sebagai “perbuatan.” Saat kita melakukan satu perbuatan, kekuatan karma yang masih menetap menghasilkan akibat di masa depan, baik pada kehidupan yang sekarang, ataupun pada kehidupan yang akan datang. Akibat dari karma perbuatan tertentu tidak menetap secara permanen, karena pelaksanaa terus-menerus perbuatan baru menyesuaikan kembali kekuatan karma, tetapi dalam semua peristiwa, terdapat hubungan sebab-akibat, dan akibatnya akan mirip dengan sifat dari penyebabnya. Oleh karena itu ketika kita menghadapi kesulitan, kita harus memahami bahwa kita sedang menerima akibat timbal-balik karma dari perbuatan sebelumnya yang tak terhitung jumlahnya dalam kehidupan sebelumnya tak terhitung jumlahnya. Ketika kita membayar kembali sebagian dari utang kita, kita seharusnya bersukacita bahwa kita dapat melakukannya. Bila kita berpandangan demikian, maka ketika musibah muncul, kita akan tetap tenang, tanpa rasa tidak senang. Kita tidak akan menderita akibat emosi yang mengganggu, berkecil hati, atau depresi. Ini merupakan praktik yang penting.

Karma, atau sebab dan akibat, harus dipahami dan diterapkan dalam kaitannya dengan konsep Buddhis tentang sebab dan kondisi Gabungan dari sebab dan kondisi memungkinkan segala sesuatu terjadi. Kita tidak mungkin dan tidak boleh lari dari tanggung jawab kita dan akibat yang disebabkan oleh karma kita Tapi kita harus mencoba untuk memperbaiki kondisi dan karma. Jika keadaan dapat diperbaiki, kita harus mencoba untuk memperbaikinya. Jika keadaan tidak lagi dapat diubah, maka kita harus menerimanya dengan tenang sebagai akibat dari karma.

Boleh jadi gampang sekali untuk mengacaukan antara prinsip sebab dan kondisi dengan prinsip sebab dan akibat. Pada kenyataannya, kedua prinsip itu terkait erat satu sama lain, dan sulit untuk berbicara tentang satunya tanpa menyinggung yang lain. Dari sudut pandang sebab dan akibat, kita dapat mengatakan bahwa kejadian sebelumnya adalah penyebabnya dan kejadian yang menyertainya adalah akibatnya. Satu kejadian mengarah ke yang berikutnya. Sebuah sebab, bagaimanapun, tidak dapat menyebabkan akibat dengan sendirinya. Sesuatu yang lain harus terjadi, harus muncul bersama dengan penyebabnya, untuk menghasilkan akibat. Gabungan antara kejadian dan faktor disebut sebagai sebab dan kondisi. Seorang pria dan wanita bersama-sama tidak secara otomatis menghasilkan anak-anak. Faktor-faktor lain harus muncul bersama agar penyebab (orang tua) mengahsilkan akibat (anak). Orang tua, anak, dan faktor-faktor lain yang terlibat semua dianggap sebab dan kondisi.

Sebab dan kondisi juga dapat dianggap sebagai “dharma”, sebuah istilah Sansekerta yang mengacu pada semua fenomena, baik fisik maupun mental. Makna ini berbeda dari “Dharma”-dengan abjad D-yang mengacu pada ajaran Buddha, metode dan prinsip-prinsip praktik. Namun, bahkan ajaran Buddha dan metode latihan itu sendiri adalah fenomena, atau dharma.

Bagaimanapun, kondisi (satu dharma) yang berpotongan dengan penyebab (dharma yang lain) harus dengan sendirnya disebabkan oleh hal lainnya, dan seterusnya, dan seterusnya tak terhingga ke segala arah di seluruh ruang dan waktu. Semua fenomena muncul karena sebab dan kondisi. Setiap fenomena yang muncul itu sendiri merupakan akibat dari penyebab sebelumnya dan muncul karena gabungan dari sebab dan kondisi. Ini mengarah pada konsep kemunculan yang berkondisi, juga dikenal sebagai saling bergantungan, yang berarti bahwa semua fenomena, atau dharma, tidak peduli kapan atau di mana mereka terjadi, saling berhubungan.

Oleh karena semua dharma adalah akibat dari sebab dan kondisi, kemunculan mereka adalah bersyarat. Hal ini meliputi bukan saja timbul dan muncul tetapi juga musnah dan lenyap. Seseorang yang lahir adalah fenomena, dan orang yang sekarat adalah fenomena; gelembung yang terbentuk adalah fenomena, dan gelembung yang pecah adalah fenomena, sebuah pemikiran yang muncul adalah fenomena, dan pikiran yang lenyap adalah fenomena. Semua dharma muncul dan lenyap karena sebab dan kondisi.

Praktik yang kedua dari empat praktik yang disarankan oleh Bodhidharma adalah “beradaptasi dengan kondisi”. Praktik ini juga memerlukan pemahaman mengenai sebab dan kondisi. Beradaptasi dengan kondisi berarti bahwa kita harus melakukan yang terbaik dalam batasan lingkungan kita. Jika keadaan kita beruntung atau sesuatu yang baik terjadi pada kita, kita seharusnya tidak terlalu bersemangat. Nasib baik, seperti nasib buruk, adalah hasil dari timbal balik karma.

Mengapa kita harus merasa gembira pada saat kita hanya menikmati hasil kerja kita sendiri? Hal ini seperti menarik uang dari rekening bank kita sendiri. Dengan cara yang sama, kita tidak boleh terlalu bangga, karena nasib baik, seperti halnya nasib buruk, adalah hasil dari banyak penyebab dan kondisi yang muncul bersamaan. Bagaimana kita dapat menyombongkan prestasi kita, ketika mereka sangat tergantung pada kehendak baik orang lain, pada pengorbanan orang tua kita, pada situasi sejarah? Praktik beradaptasi dengan kondisi berarti bahwa kamu menerima karmamu, atau sebab dan akibatnya, tanpa terlalu gembira, puas diri, atau kecewa.

Menerima hukum karma dan beradaptasi dengan kondisi adalah praktik yang sangat membantu dalam kehidupan sehari-hari. Jalan tersebut memungkinkan kita memperbaiki kondisi dan karma serta mempertahankan sikap positif terhadap kehidupan. Mereka membantu kita menikmati ketenangan hati dalam menghadapi perubahan situasi, memperbaiki perilaku kita, dan memelihara hubungan kita harmonis. Ajaran Bodhidharma ini tidak sulit untuk dipahami, dan setiap orang biasa dapat memanfaatkannya . Jika kita dapat menerapkannya dalam kondisi sehari-hari, kita akan memenuhi kewajiban kita dan kita akan melakukan yang terbaik dalam setiap kesempatan. Dengan cara ini, hidup akan lebih berarti.

Praktik yang ketiga dari empat praktik Bodhidharma adalah “tidak mencari”. Ada pepatah Cina yang berbunyi “orang membesarkan anak untuk membantu mereka kelak di usia tua, dan orang-orang menumpuk makanan untuk kelak apabila terjadi paceklik”. Saat ini, orang di Barat mungkin tidak lagi membesarkan anak hanya untuk mendukungnya di usia tua nanti, tetapi orang mungkin masih menumpuk makanan, atau kekayaan, untuk kelak apabila terjadi kesulitan. Sikap ini bukanlah sikap tidak mencari. Dalam praktik tidak mencari, kita secara terus menerus, dengan tekun melakukan kegiatan yang berfaedah, namun kita tidak berpikir bahwa kegiatan ini untuk mendapatkan keuntungan pribadi kita pada saat ini ataupun di masa depan. Kita tidak mencari keuntungan pribadi. Hal ini tidaklah mudah, dan itu adalah tingkat praktik yang lebih tinggi dari praktik kedua. Pada kenyataannya, untuk sepenuhnya menghindari kegiatan yang mementingkan diri sendiri, kita harus membuat langkah sulit dalam mewujudkan bahwa diri itu tidak ada.

Apa yang biasanya kita anggap sebagai diri adalah ilusi. Ia sama sekali hampa dalam dirinya sendiri melainkan hanyalah nama yang kita berikan kepada interaksi kita yang berkelanjutan dengan lingkungan. Kita selalu melihat, mendengar, mencium, merasakan, menyentuh, dan berpikir, dan inilah arus deras sensasi, persepsi, dan penilaian, pikiran demi pikiran, yang kita kenali sebagai diri.

Berkata bahwa diri adalah ilusi, bagaimanapun, tidak sama dengan mengatakan diri adalah halusinasi. Diri bukanlah fatamorgana. Kita mengatakan bahwa diri adalah ilusi karena ia bukanlah entitas yang stabil, melainkan serangkaian peristiwa yang selamanya berubah dalam menanggapi lingkungan yang terus berubah. Diri bukan hal yang tetap sama, dan dengan demikian, kita mengatakan bahwa diri adalah ilusi. Dengan alasan yang sama, semua fenomena dianggap ilusi, yaitu, semua fenomena adalah tidak berinti. Segala sesuatu berubah dari waktu ke waktu, berkembang dan berubah menjadi sesuatu yang lain. Diri, karena itu, adalah keberadaan palsu yang tak henti-hentinya berinteraksi dengan lingkungan palsu.

Praktik tidak mencari merupakan praktik lanjutan karena ia merupakan praktik tanpa-diri. Sementara adalah wajar bagi orang yang mulai mempelajari dan mempraktikkan Buddhisme demi keuntungan mereka sendiri, akhirnya, melalui praktik, keegoisan mereka berguguran. Mereka mendapati diri mereka sibuk karena orang lain memerlukan bantuan mereka, dan mereka menyediakan apa yang dibutuhkan. Orang seperti itu bahkan tidak lagi berpikir tentang mencapai pencerahan.

Bila kamu telah berhenti khawatir soal pencapaianmu sendiri, maka kamu telah tercerahkan. Jika tidak demikian, akan selalu ada pikiran berkelana yang halus dan keterikatan pada keinginan untuk melakukan sesuatu untuk diri sendiri. Jika kamu ingin membebaskan diri dari segala kekotoran batin dan penderitaan duniawi dan jika kamu menginginkan pembebasan, kamu masih melekat pada dirimu. Hanya ketika kamu tidak memiliki kekhawatiran soal pencerahanmu sendiri, maka kamu benar-benar dapat tercerahkan. Praktik tidak mencari merupakan praktik keadaan tercerahkan.

Praktik Bodhidharma yang keempat adalah “bersatu dengan Dharma”, merupakan ajaran dasar Buddhisme bahwa semua fenomena adalah tidak kekal dan tidak memiliki diri yang hakiki. Dalam praktik bersatu dengan Dharma, kita mencoba untuk mengalami ketidakkekalan dan ketiadaan-diri secara langsung melalui perenungan langsung terhadap kekosongan. Ini adalah praktek tertinggi Ch’an, dan itu mengarah pada pencapaian tertinggi. Ini adalah praktik yang memungkinkan kita untuk mencapai titik dimana kita “masuk melalui prinsip” yang kita singgung sebelumnya.

Namun dari mana seorang praktisi memulai? Berbagai sekte agama Buddha menerapkan banyak metode yang bisa digunakan oleh pemula, seperti membaca kitab suci, membuat ikrar, melakukan namaskara, perhatian penuh, dan merenungkan nafas. Semua metode ini membantu kita untuk beralih dari pikiran tersebar, yang kacau, emosional, dan tidak stabil, menuju kondisi mental yang tenang dan harmonis dengan lingkungan kita. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah merilekskan tubuh dan pikiran. Jika kita dapat rileks, kita akan lebih sehat dan lebih stabil dan akan berhubungan dengan orang lain lebih harmonis.

Ada seorang perumah tangga Buddhis yang datang ke Ch’an Center yang sangat gugup. Kegugupannya membuat orang lain merasa gugup. Ketika ia berbicara denganmu, tubuhnya tegang, seolah-olah ia akan menyerangmu atau membela diri. Orang bereaksi terhadap perilaku semacam ini, itu mengganggu . Ketika saya menyuruhnya untuk merelakskan tubuhnya, ia menjawab dalam suara yang dipaksakan dan tegang, “Saya sudah relaks!” Dia selalu ketakutan dan tidak aman, dan karena masalah perasaan ini menyebabkan, ia datang ke Ch’an Center untuk mencari bantuan. Ia ingin belajar bermeditasi, jadi saya mengajarinya untuk secara bertahap merelakskan tubuhnya dan kemudian pikirannya. Jika kita tidak dapat relaks, tidak mungkin kita dapat bermeditasi, dan jika kita tidak dapat bermeditasi, praktik tidak mencari benar-benar mustahil. Orang ini tidak sabar dan berpikir bahwa jika ia tercerahkan semua masalahnya akan hilang. Dia berkata kepada saya, “Guru, saya tidak ingin apa-apa, saya hanya ingin metode untuk bisa tercerahkan dengan cepat. Berikan saya metode sesegera mungkin.”Saya menjawab, “Metode seperti itu belum ditemukan. Jika saya bisa menemukan sebuah metode yang dijamin mencapai pencerahan dengan cepat, saya mungkin bisa menjualnya untuk mendapatkan cukup banyak uang.”

Sekarang saya telah menemukan metode berikut, dan saya menawarkannya secara cuma-cuma kepada siapa saja yang berkeinginan untuk belajar. Metode ini merelakskan tubuh dan pikiran. Sangat mudah dan sederhana. Jangan bertanya apakah metode ini dapat membuatmu tercerahkan atau tidak. Kamu harus dapat menjadi relaks dulu, baru nanti kita dapat berbicara tentang pencerahan.

Pejamkan matamu, bersandarlah di kursimu dan relakskan otot-ototmu. Sepenuhnya merelakskan matamu. Sangatlah penting bahwa kelopak matamu menjadi relaks dan tidak bergerak. Tidak boleh ada ketegangan di sekitar bola matamu. Tidak perlu menerapkan tenaga atau ketegangan di manapun. Kendurkan otot-otot wajah, bahu, dan lengan. Relakskan perutmu dan letakkan tanganmu di pangkuan. Jika kamu merasakan berat tubuhmu, titik beratnya harus berada di kursimu. Tidak perlu memikirkan apa pun. Jika pikiran datang, kenali mereka dan perhatikan keluar dan masuknya napasmu melalui lubang hidung. Abaikan apa yang sedang orang lain lakukan. Berkonsentrasilah pada praktikmu, lupakan tentang tubuhmu, dan relaks. Tidak perlu menghiraukan keraguan soal apakah yang kamu lakukan berguna atau tidak.

Prinsip dari metode ini adalah menjadi relaks –untuk menjadi alami dan jernih. Pertahankan setiap sesi berlansgung singkat, namun berpraktiklah dengan sesering mungkin. Pada awalnya, setiap sesi sebaiknya sepuluh menit atau kurang, secara bertahap tingkatkan latihanmu hingga dua puluh sampai tiga puluh menit jika kamu dapat melakukannya tanpa terlalu banyak rasa tidak nyaman. Jika kamu melakukannya lagi, kamu mungkin akan merasa gelisah atau tertidur. Kamu dapat menggunakan metode ini beberapa kali sehari; maka akan menyegarkan tubuh dan pikiran dan menghilangkan sebagian kegalauan dalam kehidupan sehari-hari. Secara bertahap kamu akan mendapatkan stabilitas tubuh dan batin yang memungkinkan untuk, pada akhirnya, memasuki gerbang Ch’an.
________________________________________
[1] Terjemahan alternatif untuk bagian ini adalah: “Mereka yang berpaling dari delusi kembali ke realitas, bermeditasi menatap tembok, tanpa-timbulnya diri dan orang lain, manunggal antara yang fana dan yang bijak, serta tetap teguh tak terusik bahkan oleh sutra-sutra berada dalam kondisi yang hening dan sempurna selaras dengan prinsip. Tanpa gerak, tanpa usaha, mereka masuk melalui prinsip.” (Dikutip dari terjemahan Red Pine).