Sesepuh ke-Enam Zen : Hui Neng

huineng2Ayah Hui-neng adalah penduduk asli Fan-yang, tetapi setelah diturunkan jabatannya dari kantor pemerintahan, dia menjadi penduduk Hsin-chou. Ayahnya meninggal dunia ketika Hui-neng masih muda. Hui-neng dan ibunya pindah ke Nan-hai. Mereka sangat miskin. Hui-neng menjual kayu bakar di kota. Pada suatu hari seorang pelanggannya memesan cukup banyak kayu bakar dan meminta Hui-neng untuk mengangkutnya ke gudangnya.

Setelah memperoleh kayu bakarnya, pedagang tersebut membayar Hui-neng. Ketika Hui-neng keluar dari gudang, ia melihat seseorang sedang melafal sutra. Saat Hui-neng mendengarkannya, ia mengalami pencerahan. Hui-neng menanyakan kepada orang tersebut, “Apa nama dari Sutra ini?”

Orang tersebut menjawab, “Ini adalah Sutra Intan (Cin-Kang-Cing/Vajracchedika Sutra).” Hui-neng menanyakan lebih lanjut, “Darimanakah Anda berasal, sehingga dapat memperoleh sutra ini?” Orang tersebut berkata, “Saya belajar dari Sesepuh Kelima Hung-jen, di Gunung Feng-mu wilayah Huang-mei daerah Ch’i-chou. Terdapat sekitar seribu murid di sana. Sewaktu saya di sana, saya mengetahui bahwa Guru Agung selalu memacu para bhikshu dan umat awam untuk mempelajari Sutra Intan, sehingga mereka akan mengenali Hakekat Sejati dirinya sendiri dan dapat segera mencapai Kebuddhaan.”

Setelah mendengarkan penjelasan orang tersebut, maka Hui-neng yakin bahwa semua ini terjadi karena buah karma kehidupan sebelumnya. Sehingga diapun memutuskan meninggalkan ibunya, dan berangkat ke Huang-mei untuk menjadi murid Sesepuh Ke-Lima Hung-jen. Hui-neng meninggalkan cukup banyak uang kepada tetangganya agar dapat merawat ibunya selama dia melakukan perjalanan.

Sesampainya di depan Master Hung-jen, beliau menanyakan Hui-neng, “Darimana asal Anda, dan apa yang kamu harapkan dari saya?” Hui-neng menjawab, “Saya datang dari Hsin-chou di Ling-nan. Saya telah melakukan perjalanan jauh untuk menyampaikan rasa hormat . Tujuan saya tiada lain hanyalah agar dapat mencapai Kebuddhaan.” Guru Hung-jen menjawab, “Anda berasal dari Ling-nan (desa terbelakang di China Selatan), jadi Anda adalah seorang yang biadab. Bagaimana engkau bisa mencapai Kebuddhaan?” Hui-neng berkata, “Bagi manusia, terdapat Utara dan Selatan. Tetapi bagi sifat Kebuddhaan, tiada Utara ataupun Selatan. Tubuh orang biadab ini bisa saja berbeda dengan tubuh Guru. Tetapi apakah terdapat perbedaan dalam sifat Kebuddhaan mereka?” Guru Hung-jen bermaksud meneruskan percakapan tersebut, tetapi melihat banyak orang di dekatnya, beliau akhirnya memilih diam saja. Kemudian beliau memerintahkan Hui-neng pergi dan bekerja dengan umat awam lainnya. Seorang umat awam mengantarkan Hui-neng ke gudang dan Hui-neng bekerja di bagian penggilingan padi selama delapan bulan.

Suatu hari, Guru Hung-jen memanggil semua muridnya untuk datang ke tempatnya dan beliau berkata, “Dengarkanlah kalian semuanya. Hidup dan mati adalah masalah yang serius bagi sifat kemanusiaan. Murid-murid sekalian hanya mencari berkah sepanjang hari, dan kalian tidak mencari suatu jalan keluar dari lautan pahit hidup dan mati. Jika Hakekat Sejati kalian sendiri suram adanya, bagaimana mungkin dengan berkah tersebut dapat menyelamatkan Anda? Kembalilah ke ruangan kalian masing-masing dan lihatlah ke dalam diri Anda sendiri. Gunakanlah Kebijaksanaan yang berasal dari hakekat sejati Anda sendiri, tuangkanlah dalam suatu gatha (semacam puisi), dan persembahkan kepada saya. Ia yang menyadari akan inti Ajaran Buddha akan diwarisi Jubah dan Dharma, dan akan diangkat sebagai Sesepuh Ke-Enam. Silahkah bergegas!”

Setelah menerima perintah tersebut, murid-muridnya kembali ke ruangan masing-masing. Mereka saling berbicara, “Percuma saja kita menyucikan pikiran dan berusaha mengarang gatha untuk dipersembahkan kepada Guru. Kepala bhikshu, Shen-hsiu adalah instruktur kita. Setelah beliau mendapatkan jubah kita dapat bergantung kepadanya. Jadi tidak perlu mengarang gatha.” Mereka membebaskan pikiran, dan tidak ada satupun yang berani mengarang gatha. Pada waktu itu terdapat tiga koridor di depan aula Guru Hung-jen. Dinding masing-masing koridor dilukis dengan berbagai gambar berdasarkan cerita dari Sutra Lankavatara (Leng Cia Cing) dan serangkaian gambar yang menunjukkan keberhasilan Sesepuh Ke-Lima untuk dijadikan sebagai suatu sumber informasi bagi penerus berikutnya. Seniman Lu-chen telah juga memeriksa dinding yang akan dipergunakan untuk pekerjaannya pada hari berikutnya.

Kepala Bhikshu Shen-hsiu berpikir, “Orang-orang ini tidak mau mengarang gatha karena saya adalah instruktur mereka. Sehingga saya harus mempersembahkan suatu gatha di hadapan Guru. Jika saya tidak melakukannya, bagaimana Guru dapat mengetahui dalam atau dangkalnya pengetahuan saya? Niat dari penyajian gatha tersebut akan merupakan suatu hal yang tepat, jika dilakukan berdasarkan Dharma. Tetapi akan salah jika dilakukan berdasarkan tampuk pimpinan Sesepuh, karena akan seperti kebanyakan orang pada umumnya yang merebut tampuk pimpinan suci. Jika saya tidak menyajikan gatha, saya tidak akan meneruskan tampuk pimpinan Sesepuh. Benar-benar suatu perkara yang pelik!” Setelah berpikir panjang lebar dan dengan berbagai keraguan, ia berkata pada dirinya sendiri, “Bagaimana kalau saya menuliskan gatha tersebut di dinding koridor selatan, pada tengah malam dimana tiada seorangpun di sekitar tempat tersebut, dan membiarkan Guru melihatnya sendiri? Jika Guru melihatnya dan berkata bahwa gatha tersebut tidak bagus, maka hal ini dapat dianggap sebagai berbuahnya karma buruk saya di masa lampau, dan saya tidaklah tepat untuk memperoleh posisi sebagai Sesepuh.” Sehingga pada tengah malam, Shen-hsiu pergi ke koridor selatan dan dengan memegang sebatang lilin, ia menuliskan gatha berikut di dinding untuk mengekspresikan pengetahuannya.

Gathanya berbunyi demikian:
Tubuh adalah pohon pencerahan
Pikiran adalah seperti tempat berdirinya cermin kemilau
Setiap hari membersihkannya dengan rajin
Tidak membiarkan setitik debu menempel

Setelah menyelesaikan gatha tersebut, Shen-hsiu kembali ke ruangannya. Tiada yang melihatnya. Pagi berikutnya, Guru Hung-jen memanggil seniman Lu-chen untuk datang ke koridor selatan guna melukiskan gambaran sejarah dari Sutra Lankavatara. Guru Hung-jen melihat puisi tersebut. Ia berkata kepada Lu, “Saya menghargai Anda atas lukisan agung yang telah Anda bawa dari jauh. Tetapi kita tidak akan melukiskan gambarnya. Dalam Sutra Intan [Cing Kang Cing] dikatakan, Segala sesuatu yang memiliki bentuk [fa’n sou’ yu’ hsiang’] Adalah tidak nyata dan khayalan belaka [ci’e shi’ zh’i wang] Ada baiknya juga gatha ini dibiarkan di sini sehingga orang-orang dapat melafalnya. Jika orang mempelajari sesuai gatha ini, mereka tidak akan jatuh ke jalan yang salah dan mereka akan memperoleh manfaat yang besar.” Kemudian Guru Hung-jen memerintahkan muridnya menancapkan dupa di depan gatha tersebut dan memujanya. Ia berkata, “Kalian semua dapat melafalkannya. Jika kamu lakukan maka kamu akan melihat Hakekat Sejati Diri Anda.” Semua orang melafalkan gatha tersebut dan memujinya “Luar biasa!” Kemudian, Guru Hung-jen memanggil Kepala Bhikshu Shen-hsiu ke dalam aula dan menanyakannya, “Apakah engkau yang menulis gatha tersebut?” Shen-hsiu menjawab, “Ya, memang saya yang tulis. Tetapi saya bukan bermaksud untuk mengejar tampuk pimpinan Sesepuh. Mohon Guru berbaik hati memberitahukan apakah murid memiliki sejumlah kecil kebijaksanaan.” Guru Hung-jen menjawab, “Gatha yang engkau tuliskan ini memperlihatkan bahwa engkau belumlah menemukan Hakekat Sejati Dirimu sendiri. Engkau telah sampai di depan pintu, tetapi engkau masih belum masuk ke dalamnya. Jika engkau mencari Pencerahan Agung dengan pandangan demikian, engkau tidak akan berhasil. Engkau harus memasuki pintu tersebut, dan melihat Hakekat Sejati Dirimu. Kembalilah dan pikirkan dalam waktu satu dua hari ini. Karanglah gatha lainnya dan persembahkan kepada saya. Jika engkau telah memasuki pintu tersebut, aku akan serahkan Jubah dan Dharma.”

Seorang pemuda yang kebetulan melewati gudang, melafal gatha tersebut. Segera setelah Hui-neng mendengarkan gatha itu, ia mengetahui bahwa pengarang gatha itu sama sekali belum menemukan Hakekat Sejati Dirinya. Hui-neng menanyakan pemuda tersebut, “Gatha apa yang lagi Anda lafalkan?” Pemuda tersebut menimpalinya, “Anda tidak mengetahuinya? Guru mengatakan bahwa hidup dan mati adalah masalah serius dan bahwa beliau bermaksud untuk menyerahkan Jubah dan Dharma. Beliau telah memerintahkan murid-muridnya untuk mengarang suatu gatha dan mempersembahkan kepada beliau. Ia yang telah sadar akan inti Ajaran Buddha akan diserahkan Jubah dan Dharma, dan akan diangkat sebagai Sesepuh Ke-Enam. Kepala Bhikshu Shen-Hsiu menuliskan suatu gatha tanpa bentuk di dinding koridor selatan. Guru memerintahkan semua murid untuk melafal gatha tersebut. Beliau berkata bahwa mereka yang telah berlatih sesuai dengan gatha tersebut tidak akan jatuh ke jalan yang salah.” Hui-neng berkata, “Saya telah menggiling padi selama delapan bulan di sini, dan tidak pernah ke aula. Dapatkah Anda mengatarkan saya ke koridor sehingga saya dapat membaca gatha tersebut dan memujanya. Saya juga bermaksud melafalkan gatha tersebut sehingga saya juga dapat menciptakan karma baik untuk kehidupan saya berikutnya dan dilahirkan di tanah suci Buddha.” Pemuda tersebut kemudian mengantarkan Hui-neng ke koridor, dan Hui-neng memuja di depan gatha tersebut. Karena dia buta huruf, Hui-neng meminta seseorang membacakan untuknya. Setelah mendengarkan gatha tersebut, Hui-neng kemudian berkata bahwa ia juga telah mengarang suatu gatha, dan meminta seseorang menuliskannya di dinding. Gatha Hui-neng berbunyi:
Pada hakikatnya tiada pohon pencerahan
Cermin berkilau juga tidak memiliki tempat berdiri
Sifat Kebuddhaan selalu bersih dan suci
Darimana adanya debu?

Semua orang kagum akan gatha tersebut. Guru Hung-jen khawatir orang-orang akan terhasut, dan beliau berkata, “Gatha ini juga tidaklah sempurna.”

Menjelang tengah malam, Guru Hung-jen memanggil Hui-neng ke aula, dan membabarkan Sutra Intan. Setelah mendengarkan Sutra Intan, Hui-neng memperoleh Pencerahan. Malam itu juga, Guru Hung-jen menyerahkan Jubah dan Dharma, dan tiada seorangpun yang mengetahuinya. Setelah Guru Hung-jen menyerahkan Jubah dan Dharma Pencerahan Seketika, beliau berkata, “Engkau sekarang adalah Sesepuh Ke-Enam. Jubah ini adalah merupakan suatu bukti kepercayaan, dan telah diserahkan dari Sesepuh yang satu ke Sesepuh lainnya. Dharma diberikan dari pikiran ke pikiran, jadi engkau harus merealisasikannya ke dalam dirimu sendiri.” Guru Hung-jen melanjutkan, “Engkau harus pergi segera. Jika kamu tinggal di sini, akan ada yang mencederaimu.”

Setelah diberikan Jubah dan Dharma, Hui-neng pergi pada tengah malamnya. Guru Hung-jen mengantarkannya ke dermaga Chiu-chiang dimana beliau mengarahkannya ke sebuah perahu dan berkata, “Pergilah sekarang, arahkan ke sebelah selatan. Jangan menyebarkan Dharma terlalu cepat. Dharma tidaklah mudah disebarkan.” Setelah mengucapkan selamat tinggal, Hui-neng memulai perjalanannya ke arah selatan.

Dalam waktu dua bulan, Hui-neng telah mencapai Gunung Ta-yu. Banyak orang mengubernya untuk merebut kembali Jubahnya. Diantara mereka terdapat seorang bhikshu yang bernama Ch’en Hui-ming, seorang bekas jenderal dan sangat kasar sifatnya. Dia sempat menangkap Hui-neng, dan Hui-neng menyerahkan Jubah tersebut. Tetapi, dengan alasan tertentu, Ch’en tidak sanggup menerima Jubah tersebut. Ia berkata, “Saya kemari untuk Dharma. Saya bukan menghendaki Jubah.” Hui-neng kemudian membabarkan Dharma. Setelah mendengarkan ceramah tersebut, Ch’en mencapai Pencerahan. Dan bersujud kepada Hui-neng sebagai Gurunya. Ch’en kemudian pergi ke arah utara.

Selama 16 tahun lamanya, Hui-neng bersembunyi di pegunungan. Akhirnya, ia muncul dan ditahbiskan sebagai bhikshu dan diberi nama Hui-neng oleh Guru Dharma Yin-tsung di vihara Fa-hsing daerah Kanton. Menurut cerita pada saat Hui-neng muncul di vihara Fa-hsing, kebetulan sedang berlangsung pembabaran Su.tra Parinirvana oleh Guru Dharma Yin-tsung. Pada saat tersebut terdapat dua bhikshu muda yang sedang bertengkar mengenai apakah bendera atau angin yang bergerak. Hui-neng yang mendengarkan pertengkaran tersebut, kemudian menengahi dengan menjawab, “Bukanlah angin yang bergerak. Bukan pula bendera yang bergerak. Pikiran kalianlah yang bergerak!” Mendengar jawaban Hui-neng tersebut, Yin-tsung mengundangnya naik ke panggung untuk bertukar pikiran mengenai Dharma, yang kemudian Yin-tsung menyadari bahwa Hui-neng adalah penerima Jubah Sesepuh Kelima. Kemudian Yin-tsung menahbiskan Hui-neng sebagai bhikshu, dan ia sendiri juga menjadi murid Hui-neng. Tahun berikutnya, Sesepuh Ke-Enam Hui-neng datang ke vihara Pao-lin di Ts’ao-chi dimana beliau tinggal selama beberapa tahun lamanya dan secara aktif menyebarkan Dharma. Suatu saat, Ketua vihara, Wei-ch’u di Shao-chou secara resmi mengundangnya membabarkan Dharma di vihara Ta-fan di Shao-chou. Ketua vihara kemudian meminta Fa-hai, salah seorang murid Sesepuh, untuk mencatatkan semua perkataannya.

Ajaran utama Hui-neng menekankan non-dualitas dan segala sesuatu bersumber dari suatu Hakekat Sejati. Hui-neng menjadi Guru Ch’an (Zen) yang paling terkenal dalam sejarah Buddhisme di Tiongkok. Setelah beliau meninggal dunia, karya-karyanya dikumpulkan dan diakui sebagai satu-satunya sutra Buddhis yang berasal dari Tiongkok, yang disebut Sutra Sesepuh Ke-Enam. Sekte yang didirikannya terkenal sebagai sekte Pencerahan Langsung atau Zen Aliran Selatan yang kemudian menjadi lebih terkenal dari sekte Zen yang didirikan oleh Shen-Hsiu yang tekenal sebagai sekte Pencerahan Bertahap.

Hal yang terpenting dalam ajaran Ch’an adalah pada perenungan Hakekat Diri, yang berarti menghidupkan cahaya diri sendiri dan memantulkannya ke dalam batin kita. Sebagai gambaran, dapat kita ambil contoh suatu lampu. Kita mengetahui bahwa cahaya dari suatu lampu apabila dibalut oleh suatu halangan, akan memantul ke dalam dengan pancarannya yang berpusat pada lampu tersebut. Sedangkan sinar dari suatu lampu yang tidak terhalang akan memancar ke luar.

Jalan Kebenaran Zen menuju Kebijaksanaan adalah merupakan suatu pemahaman Dharma dari pikiran ke pikiran. Kitab Suci hanyalah merupakan suatu alat untuk tercapainya tujuan. Bagaimanapun sempurnanya seorang guru, ia tak akan bisa memberikan pencerahan bagi orang lain. Perannya hanyalah seperti juru-rawat yang membantu seorang bayi pada saat kritis. Kebijaksanaan dan pengetahuan bukanlah suatu hal yang sama. Intelektual tidak dapat membawa seseorang pada suatu tataran Kebijaksanaan Sejati. Seseorang haruslah memfungsikan seluruh keberadaannya untuk berhubungan dengan Kebenaran. Pikiran adalah bahasa tanpa kata-kata, sedangkan kata-kata adalah simbol bahasa. Ketika pikiran dan kata-kata tumpang tindih, maka akan menjadi halangan bagi jalan menuju Kebijaksanaan. Hui-neng mengajarkan bahwa seseorang itu mesti menjaga pikirannya agar tidak terpengaruh dan terusik oleh berbagai fenomena yang ada di sekeliling kita. Jika pikiran tak tergoyahkan lagi, maka pikiran tidak akan diperbudak oleh hal-hal duniawi. Pisahkan diri kita dari pencerahan ataupun khayalan dan biarkanlah Kebijaksanaan selalu bangkit, dan dengan hilangnya kebenaran ataupun kepalsuaan, maka kita akan menemukan Buddha Sejati atau Hakekat Sejati dalam diri kita sendiri.

http://kebajikandalamkehidupan.blogspot.com/2011/06/sesepuh-ke-enam-zen-hui-neng.html