Buddhadharma, Pejabat Publik Dan Perilaku Korupsi

Oleh: Jo Priastana

Bila dalam kesempatan kehidupan sekarang ini dapat menapaki karier sebagai  pejabat publik adalah sebuah keberuntungan dan anugerah luar biasa yang patut disyukuri. Rasa syukur tersebut tidak hanya ditujukan terhadap jabatan yang mengundang prestisius (kebanggaan) namun juga terhadap kesempatan di dalam mengemban amanah dan tanggung jawab memberi kesejahteraan dan kebahagiaan kepada masyarakat banyak.

Kesempatan yang luar biasa sebagai pejabat publik, karena dengan jabatannya tersebut pejabat publik dapat mewujudkan karma baiknya yang sebesar mungkin. Melalui jabatannya yang memang bersifat publik, memberikan pelayanan dan meningkatkan kehidupan masyarakat luas, menduduki posisi pejabat publik merupakan sebuah berkah yang memberikan kesempatan untuk bekerja membahagiakan orang banyak.

Namun nyatanya berkah tersebut tidak selalu dipergunakan dan dimanfaatkan dengan semestinya. Menjadi pejabat publik yang seharusnya dapat mewujudkan karma baik dengan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak justru seringkali menjadi kebalikannya dengan munculnya perilaku korupsi yang sangat egoistis mementingkan diri sendiri dengan mencelakakan banyak orang.

Perilaku korupsi yang melanggar moralitas ini masih begitu dominan karena berakar jauh pada persepsi yang keliru terhadap penyelenggaraan negara.  Korupsi yang meski dikatakan telah membudaya dan dan menjadi virus ini tetap wajib diperangi dan diberantas karena tidak sesuai dengan harkat dan kesadaran manusia yang sesungguhnya.

Korupsi dan Moralitas

Kata korupsi sudah tidak asing lagi terdengar seperti tampak pada banyaknya kasus korupsi yang dilakukan pejabat publik. Sedikitnya cermin, teladan yang seharusnya diperlihatkan pejabat publik, menjadikan perilaku korupsi semakin mewabah dan mengkhawatirkan karena menimbulkan dampak merosotnya moralitas manusia dan kesejahteraan masyarakat.

Korupsi berkaitan erat dengan moralitas. Moralitas adalah cermin kemanusiaan, dan perilaku korupsi yang merugikan orang banyak itu bukanlah perilaku yang  mencerminkan moralitas.  Korupsi menjadikan merosotnya moralitas masyarakat dan menjadi sumber pembusukan moral dan komitmen keadilan.

Pada umumnya, perilaku korupsi sangat dimungkinkan oleh pejabat publik. Pejabat publik yang semestinya mengemban etos sosial yang mendatangkan kebaikan, justru malah berperilaku kebalikannya, mendatangkan keburukan. Dalam bahasa Latin dikatakan, corruptio optima pessima, pembusukan moral (korupsi) dari orang yang tertinggi kedudukannya adalah yang paling buruk.

Karena itu, korupsi yang melanggar moralitas itu pantas diperangi dan diberantas.  Korupsi diyakini sebagai suatu suatu tindak pencurian yang merugikan kekayaan masyarakat, kekayaan negara dan bertentangan dengan hukum dan moralitas.

Dalam pandangan agama Buddha, korupsi yang merupakan suatu tindakan pencurian itu tidak dapat dibenarkan. Korupsi merupakan suatu bentuk perbuatan yang melanggar sila, moralitas Buddhis, dan mencederai harkatnya sebagai manusia.

Pejabat Publik dan Pencurian

Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik untuk kepentingan pribadi  merupakan suatu tindak korupsi. Korupsi melanggar moralitas karena termasuk dalam pencurian, memiliki barang, uang atau kekayaan publik, yang bukan haknya, milik rakyat bagi kepentingannya sendiri.

Memang selain membuka kesempatan untuk berkarma baik besar, jabatan publik yang berisikan kekuasaan itu juga memberi peluang untuk penyalahgunaan. Kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang berkuasa ini telah diperingatkan oleh Lord Acton (1834-1902), “power tends to corrupt and absolute power tends corrupts absolutely”.

Kekuasaaan itu cenderung korup, dan kekuataan yang absolut cenderung menghasilkan korupsi yang absolut pula. Dalam wacana modernitas, korupsi di definisikan sebagai misuse of power, of public office, of entrusted authority for private benefits.

Sesungguhnya menjadi pejabat publik itu adalah suatu kehormatan dan kemuliaan. Dengan menjadi pejabat publik seseorang dapat berkesempatan ber-karma baik yang besar dengan berbakti mewujudkan kesejahteraan banyak orang.

Sebaliknya bila menyalahgunakan untuk kepentingan pribadi dalam tindak korupsi, maka peran sebagai pejabat publik yang seharusnya mulia itu menjadi jelek karena tindakannya itu merugikan orang lain.

Sebagai penyelenggara kehidupan banyak orang, maka pejabat publik dituntut mewujudkan etika publik yang mengandung nilai lebih dengan mewujudkan tanggung jawab sosial yang mengatasi segala kepentingan personal.

Buddhadharma memandang bekerja untuk kepentingan publik demi mewujudkan kesejahteraan publik adalah sesuatu yang mulia ketimbang bekerja semata untuk kepentingan diri sendiri apalagi merugikan banyak orang.

Dalam Anguttara Nikaya ii, 94, dikatakan, ada empat tipe manusia, yaitu: (a) He who works neither for his own welfare not for the welfare others. (b) He who works for the welfare of others, but not for his own welfare. (c) He who works for his own welfare, but not for the welfare others, (d) He who works for welfare of both himself and others.

Bila pejabat publik yang seharusnya berperan demi kepentingan dan kesejahteraan orang banyak, namun nyatanya justru dengan jabatannya itu hanya untuk memperkaya  diri sendiri yang merugikan orang banyak, merugikan bangsa dan negara, maka apa yang dilakukannya itu adalah suatu tindakan yang tergolong sebagai korupsi, suatu tindak pencurian.

Seorang pejabat publik yang padanya umumnya berpendidikan, terpelajar dan cerdas dan melakukan tindak korupsi pasti tahu  bahwa tindakan itu termasuk pencurian,  karena korupsi bertentangan dengan prinsip negara modern dan juga melanggar prinsip moralitas yang memenuhi unsur-unsur pencurian.

Dalam Buddhadharma, tindakan pencurian disebut sebagai adinnadana, yaitu mengambil barang yang bukan miliknya yang berlangsung dalam suatu proses yang disadari. Ada lima faktor yang bekerja atau berproses dalam diri seseorang yang memenuhi unsur pencurian.

(1) Suatu barang milik orang lain (para pariggahitam), (2) Mengetahui bahwa barang itu ada pemiliknya (parapariggahitasannita), (3) Berniat untuk mencurinya (theyyacittam), (4) Melakukan usaha untuk mengambilnya (upakkamo), (5) Berhasil mengambil melalui usaha itu (tena haranam).

Berhasil mengambil melalui usaha itu berarti bahwa barang itu telah berpindah dari tempat semula. Pelanggaran sila kedua atau pencurian ini berakibat buruk karena mengandung kekuatan kehendak untuk mencuri. Kekuatan kehendak itu ditentukan oleh: nilai barang yang dicuri dan tingkat kemajuan rohani pemilik barang yang dicurinya.

Pencurian mendatangkan karma buruk, seperti mengakibatkan: miskin, dinista dan dihina, keinginan senantiasa tidak tercapai, dan hidup tergantung orang lain. Dalam hukum karma, sebab akibat pasti berlaku, karena itu siapa yang menabur pasti dia pula yang akan menuainya. Sesuai benih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya.

Tindak pencurian dalam korupsi ini dapat muncul dalam beragam wajah dan berbagai cara, seperti dalam  budaya pemberian (the gift) (kepada atasan). Budaya yang berkenan dengan pejabat publik ini merupakan cerminan cara pikir feodal dan penghayatan kehidupan bernegara yang masih bersifat patrimonial jauh dari persepsi negara modern.

Budaya Korupsi dan Negara Modern

Walaupun korupsi telah diketahui sebagai pelanggaran moral dan membawa kerugian bagi masyarakat luas, mengapa virus korupsi itu tetap saja tumbuh subur dan disebut-sebut telah membudaya? Apakah kata nilai moralitas itu telah tidak berdaya lagi sehingga korupsi tetap dijalani tanpa rasa malu dan rasa salah baik kepada nurani sendiri dan kepada masyarakat luas?

Korupsi merupakan fenomena perilaku buruk manusia yang menyangkut kekayaan negara yang banyak terjadi di banyak negara serta terdapat pada setiap jaman. Karenanya, perilaku korupsi ini juga berkaitan dengan persepi banyak orang khususnya yang mengemban jabatan publik terhadap negara dan perilaku pemerintahan.

Korupsi yang tetap marak dan membudaya ini memiliki akar jauh di masa silam, terutama berkenan dengan persepi pejabat publik terhadap negara. Mochtar Lubis (Bunga Rampai Korupsi, 1985) menyebutkan, korupsi berakar pada masa ketika kekuasaan bertumpu pada apa yang disebut “birokrasi patrimonial” yang berkembang dalam kerangka budaya feodal.

Dalam budaya tersebut, pandangan yang memisahkan antara kekayaan negara dan kekayaan pribadi belum terwujud. Padahal sistem politik modern yang demokrasi berdasarkan hukum menegaskan adanya pemisahan yang jelas antara kekayaan negara atau kepentingan publik dan kekayaan privat atau kepentingan pribadi.

Korupsi berkaitan dengan belum terbangunnya persepsi negara modern. Sejarawan Onghokham (1985) pun menyebutkan bahwa korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum, sedangkan pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional-negara patrimonial.

Jadi, bisa kita membayangkan bagaimana korupsi terus berlaku karena kekayaan negara dikelola masih dalam sistim patrimonial dan budaya feodal, belum terhayatinya sistem politik modern. Perilaku korupsi pun semakin canggih dan selalu mencari cela-cela yang memungkinkannya terjadi.

Sistim politik modern mengharamkan perlakuan kekayaan negara sebagai kepemilikan pribadi dan menempatkan korupsi sebagai suatu tindak pencurian yang bertentangan dengan hukum dan moralitas.

Korupsi masih dapat tumbuh subur, karena konsep politik dan negara modern  masih belum terhayati aparat negara.  Korupsi yang didefinisikan sebagai suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern) tetap saja terjadi. Korupsi  seperti suap atau sogok terus berlangsung, karena negara masih tetap dihayati secara patrimonial.

Gerakan Anti Korupsi

Bisa diakatakan korupsi yang telah membudaya itu berakar pada cara pikir, persepsi banyak orang dan pejabat publik terhadap negara. Karenanya, perlu selalu ditumbuhkan bahwa tugas pejabat publik adalah pelayan negara, dan negara didirikan oleh rakyat, untuk rakyat dimana kekayaan negara dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.

Perilaku korupsi yang mencuri kekayaan negara itu perlu diberantas dan harus selalu diperangi. Masyarakat dunia pun telah menyambut pemberantasan korupsi dan hari Antikorupsi pun telah dicanangkan.

Tanggal 9 Desember telah diambil sebagai hari antikorupsi berbarengan dengan ditandatanginya Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention Against Corruption, UNCAC) di Merida, Meksiko, 9-11 Desember 2003.

Pemerintah Indonesia pun telah meratifikasi konvensi itu pada 18 April 2006 dengan UU Nomor 7 Tahun 2006, dan membentuk KPK (Komisi Anti Korupsi), sebagai sebuah institusi independen yang berdiri pada 29 Desember 2003 dengan  UU Nonor 30 Tahun 2002 yang merupakan landasan pembentukan Pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi).

Banyak negara juga membentuk badan khusus melawan korupsi. Australia dan Hongkong memiliki Independent Commission Against Corruption, sementara Singapura membentuk The Corrupt Practices Inverstigation Bureau sejak 1952.

Masyarakat Indonesia di berbagai kota menyambut hari anti korupsi  melalui gerakan anti korupsi pada tanggal 9 Desember 2009. Fenomena ini  menunjukkan bahwa korupsi itu adalah perilaku buruk yang pantas diberantas.Korupsi  sebagai pencurian kekayaan negara memang pantas tidak dilakukan dan wajib diperangi