Pesan Pencerahan Waisak Dan Budaya Sms

Oleh: Jo Priastana

Ketika jari jemari itu menyentuh sekuntum bunga kumbala. Maka keheningan pun terjadi dalam diri Maha Kasyapa. Bumi terhenyak hening. Batu diam membisu. Langit sunyi. Sang Buddha tersenyum dan Maha Kasyapa pun tersenyum. Pesan pencerahan telah tersampaikan, telah terjadi. Begitu singkat, dalam, padat, sesaat, sekelabat, sekejap. Hanya mereka berdua yang saling tahu dan mengerti. Itulah senyum Acharya yang begitu dalam penuh makna.

SMS pencerahan Sang Buddha dan Maha Kasyapa. Begitulah bila para master berkomunikasi, menyampaikan pesan pencerahan yang tak terucapkan. Begitu singkat, padat, dalam dan penuh makna. Dewasa ini pun orang banyak melakukan penyampaian pesan-pesan singkat dengan tumbuhnya budaya SMS melalui hand-phone. Namun berbeda dengan makna yang sangat dalam yang terjadi diantara para master yang tercerahkan dan berkomunikasi secara singkat dan padat, budaya SMS kerap kali menghadirkan kita kepada keterasingan dan sedikit makna.

Biarpun telah saling berpesan lewat SMS, orang seringkali masih tetap merindukan dan membutuhkan untuk saling bertemu, ber-copy darat dan sungguh ingin terjadinya komunikaso dengan merasakan makna yang dalam yang dapat dipetik dari tatapan mata atau senyum langsung. Komunikasi yang dalam dan bermakna yang terkandung dalam pesan pencerahan Buddha kepada Maha Kasyapa itu nyatanya jauh mengatasi peralatan teknologi canggih yang mampu menebarkan huruf-huruf dalam rangkaian kata-kata.

Komunikasi yang sejati nyatanya memerlukan tatapan langsung, bahasa tubuh. Bahkan bagi mereka yang telah tercerahkan malah tidak lagi memerlukan kata-kata. Sedikit senyum telah menjadi danau biru dan rerumputan yang menghijau. Sedikit Senyum dari mereka yang tercerahkan telah menjadikan bulan dan matahari bertemu dan memancarkan sinar yang mencerahkan yang selalu menerangi kerinduan hati kita akan makna hidup yang sesungguhnya.

Pencerahan Waisak

Bila sebuah penyampaian pesan diupayakan begitu singkat dan padat sebagaimana dengan pengiriman pesan melalui SMS, maka senyum Buddha kepada Maha Kasyapa ketika menyampaikan pesan pencerahan itu merupakan penyampaian pesan yang paling super singkat dan paling komunikatif, komunikasi yang paling berkualitas.

Senyum yang membuka tabir segalanya menjadi bahasa komunukasi yang paling singkat namun dalam dan penuh makna. Senyum menjadi bahasa yang singkat dan sangat komunikatif. Bila sesuatu itu sulit untuk diungkapkan, maka senyum bisa mewartakannya dan menciptakan titik-temu untuk saling pengertian. Dalai Lama pernah mengatakan senyum adalah komunikasi yang intens dan indah.

Mereka yang tercerahkan saling berkomunikasi dalam bahasa yang mengatasi kata-kata. Pencerahan itu begitu dalam dan luas, sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata dan bahkan kata-kata tak mampu mengungkapkan keluasan, kedalaman, keindahan pencerahan. Dalam ungkapan Zen Buddhism, pencerahan itu sesederhana danau biru dan bukit hijau. Ia indah apa adanya. Mereka yang tercerahkan berkomunikasi sesingkat mungkin, tanpa banyak kata-kata. Bahkan mereka hanya mengukirnya melalui senyum mereka, sebagaimana senyum  Buddha yang merupakan cerminan dari keheningan dan pencerahan Waisak.

Budaya SMS

Kini, di era kecanggihan teknologi yang membuat telinga dewa menjadi panas dan sangat iri kepada manusia yang telah bisa ber-hanphone ria, Budaya SMS ini telah menggantikan tatapan langsung dan menyingkirkan banyak bahasa tubuh.

Entah mengapa, bahasa elektronik melalui hand-phone yang semula dirancang untuk berfungsi mendengarkan suara, kini justru malah lebih banyak dipergunakan dengan tidak bersuara, hanya melalui tulisan-tulisan atau pesan-pesan singkat melalui SMS. Dari sisi lain penyampaian melalui SMS pun kini tidak hanya berupa berita penting yang harus dibaca segera. Berbagai tulisan-tulisan lainnya, dari sapaan-sapaan, cerita-cerita lucu sampai cerita-cerita yang tak pantas dalam berbagai bahasa bisa terlihat melalui SMS.

Bahkan bahasa gambar pun telah dapat dipergunakan. Lebih jauh dari itu, penggunaan SMS tampaknya juga bisa untuk tujuan apa saja, seperti misalnya berkhotbah atau menyampaikan pesan-pesan agama yang seringkali mengatasi batasan jumlah huruf sehingga harus muncul beberapa kali.

Begitu luar biasanya peran sebuah handphone dimana SMS menjadi fenomena, menjadi sebuah budaya. Menjadi sebuah kegitan ritual, menjadi sebuah penanda peradaban masa kini, menjadi ikon di era tekno-global. Adakah fenomena SMS ini merupakan cerminan dari orang yang malas berbicara dan mendengarkan suaranya dari handphonenya sendiri? atau bahkan menjadi fenomena dimana hati nurani dan kata hati atau bodhicitta menjadi mudah disembunyikan? Entahlah!

Ataukah SMS digemari karena SMS bisa diselimuti dengan berbagai sandi dan kata-kata yang singkat dan instant sehingga cocok untuk orang yang malas menyuarakan isi hati nuraninya sendiri. Bahkan sarana untuk menutupi kata hatinya sendiri, memainkan sandiwara-sandiwara dalam kehidupan, ragam peran kepalsuan dalam ragam kehidupannya yang cenderung singkat, instant dan cepat selesai.

Kalau sudah begitu, apakah kita telah begitu takut dengan kejujuran dan ketulusan yang tertangkap dari getar nada suara, ketimbang berselimut pada huruf-huruf pendek singkat dalam SMS? Bahkan di Dubai, Singapura dan Malaysia, pernah seorang suami menceraikan isterinya hanya melalui SMS. Apakah fenomena meledaknya pemakaian SMS ini juga tidak lepas dari kesenangan kita mengobrol, berbuat iseng. Kesenangan bergosip-ria namun ketidaksukaan dalam berterus terang dalam kejujuran hati dan menyatakannya secara langsung?

Fenomena SMS (Short Message Service) ini pun seakan-akan menjadikan hidup terasa semakin singkat, bergegas, sepotong-potong. Sesaat kita mengetahui kita berada di mana dan sedang menjawab apa. Tapi benarkah kita sedang berbicara? Kita merasa pasti mengenali pengirimnya, tapi sungguhkah dia yang mengirimnya ataukah ada orang lain yang menggunakan HP-nya?

Kita merasa telah berkomunikasi, telah mendengar banyak pesan, menjawab, namun sedetik kemudian menghapuskannya. Peristiwa berjalan seperti catatan terpotong-potong, sebata-bata dan terbatas. Komunikasi begitu singkat, dan hidup pun terasa begitu singkat tanpa perlu mengingat termasuk barangkali mengingat kesalahan-kesalahan moral.

Melalui SMS, berbagai fenomena kehidupan bisa dikatakan telah menjadi huruf atau menjadi penanda yang sesaat mudah dihapus, dan menjadi tanpa waktu yang pasti. Hidup menjadi berkelabat, sesaat mungkin dan juga membuat kita merasa nikmat namun sekaligus sepi dan terasing.

Senyum Keheningan

Diantara banjirnya kata-kata, maka kediaman dan keheningan yang menghadirkan kepenuhan itu kini telah menjadi barang yang langka. Langka dari keheningan sekalipun itu mungkin badan sendiri berada di dalam tempat yang sepi atau justru ketika berada di tengah-tengah pelatihan meditasi dan ruang dharmasala.

Di tengah tebaran kata-kata yang begitu tinggi frekwensinya meski singkat-singkat dalam SMS, sungguhkan kita merasakan komunikasi yang sejati? Diantara Budaya SMS yang menunjukkan bahwa kita selalu menebar kata-kata dan banyak menerima kata-kata, malah justru tampaknya kita jadi selalu mencoba diri untuk dapat berkomunikasi.

Semua pesan-pesan yang tertebar dan tersebar itu jadi seperti tanpa makna dan pada saat yang sama kita pun merasa semua itu omong kosong dan perlu di erase. Adakah budaya SMS menghadirkan paradoks dalam hidup kita? Banyak kata-kata namun tak kunjung makna di dapat. Beda dengan pencerahan dalam keheningan, tanpa kata-kata, begitu dalam maknanya sebagaimana yang terjadi dalam keheningan meditasi.

Nyatanya ditengah budaya SMS ini, kita tetap merindukan dan mencari pesan-pesan lain, seperti pesan-pesan keabadian yang terkandung dalam pencerahan Waisak. Kita merindukan keheningan yang maha dalam seperti di malam purnama Waisak sebagaimana kita mencari makna dalam rupang Buddha yang selalu senyum.

Kita merindukan kehangatan dalam tatapan sinar mata dan getar suara. Mencari dan merindukan siapakah yang akan tersenyum kepada kita? Siapakah yang akan menyampaikan senyum kepada kita? Adakah yang tersenyum (tulus) kepada kita hari ini?

Dalam senyum yang sungguh kita terima dan bukan semata gambar atau kata dalam SMS. Senyum pencerahan dimana tak ada kata, tak ada huruf, namun terasa penuh makna dan menghidupkan, menggelorakan. Bagaikan merasakan lembutnya tatapan sinar rembulan di malam Waisak.

Lama Surya Das dalam bukunya “Awakening the Buddha Within”, mengungkapkan  puncak dari menemukan perkataan yang benar adalah hening. Keheningan itulah tampak dalam senyum Buddha yang mengandung makna yang sangat dalam, berisikan kesejatian, ketulusan, kemurnian, kejujuran hati. (jp).