Bhiksu Tua dan Bhiksu Muda

by sinarnurani

Seorang bhiksu tua dan bhiksu muda sedang berpergian dengan berjalan kaki. Mereka berjalan bersama melewati hutan-hutan, pegunungan-pegunungan, dan lembah-lembah. Ke mana pun mereka pergi, bhiksu tua selalu berjalan mendahului, sementara bhiksu muda, memanggul barang mereka, membuntuti di belakang. Sepanjang perjalanan, mereka berdua merawat dan menjaga satu sama lain.

Sewaktu bhiksu muda berjalan-jalan, ia berpikir sendiri, “Kita bersyukur dilahirkan sebagai manusia, tapi dalam waktu hidup yang singkat kita harus melalui siklus kelahiran, usia tua, sakit, mati dan menahan penderitaan kelahiran kembali. Alangkah menderitanya hidup kita ini jadinya! Berhubung saya sudah memutuskan untuk menyerahkan hidup saya untuk pengembangan rohani, saya harus menjaga teguh janji saya untuk menjadi seorang Bodhisattva dan menolong orang yang menderita. Saya tidak boleh malas dan harus melakukan yang terbaik untuk melatih diri.”

Ketika bhiksu muda sedang berpikir tentang hal tersebut, tiba-tiba bhiksu tua berbalik dan sambil tersenyum berkata kepadanya, “Ayo, berikan barang bawaan itu kepada saya dan berjalanlah lebih dulu dari saya.” Meskipun bingung mendengar hal tersebut, bhiksu muda itu melakukan apa yang diperintahkan gurunya.

Tanpa barang bawaan, bhiksu muda tiba-tiba merasa tidak ada yang membebani dan santai. Pikirannya mulai melayang, “Kitab Buddha mengatakan bahwa para Bodhisattva harus membantu semua makhluk hidup yang sedang menderita sebaik yang dapat mereka lakukan. Betapa lelahnya menjadi Bodhisattva! Dunia dipenuhi oleh orang-orang yang menderita. Bagaimana mungkin kita dapat menolong mereka semua? Lebih baik saya menjaga diri sendiri daripada direpotkan oleh penderitaan orang lain.”

Begitu pikiran ini timbul, bhiksu tua memanggilnya dengan suara yang keras, “Berhenti!” Bhiksu muda segera menengok dan tercengang melihat mimik wajah gurunya yang marah. Bhiksu tua itu mengembalikan barang bawaan kepadanya dan berkata, “Ambillah ini dan berjalanlah di belakang saya.”

Bhiksu muda melakukan sesuai yang diminta gurunya. Segera ia berpikir lagi, “Bagaimana bisa kita makhluk hidup jadi menderita? Saya senang dan terbebas dari bawaan beberapa saat yang lalu, tapi saya menjadi tidak gembira dalam sekejap kedipan mata. Pikiran manusia berubah-ubah dan tidak dapat dipercaya.” Menyadari pada dasarnya pikiran manusia mudah berubah, ia sekali lagi bersumpah untuk mengembangkan jiwa Bodhisattvanya agar tetap tenang dan tenteram, serta tidak terpengaruh oleh lingkungan luar. “Lagipula, sebagai orang baru, saya dapat bertemu banyak orang dan menghibur mereka yang sedang menderita. Ini akan menjadikan hidup bermakna,” pikirnya.

Lalu bhiksu tua berpaling, mengambil barang bawaan dari bhiksu muda, dan menyuruhnya untuk berjalan kembali di di depannya.

Waktu terus berlalu, tapi bhiksu muda masih terus bimbang antara melakukan pelatihan diri atau berhenti. Untuk ketiga kalinya bhiksu tua memarahinya, akhirnya bhiksu muda menanyakan gurunya mengapa sikapnya terus berubah-ubah.

Bhiksu tua menjawab, “Meski kamu menunjukkan minat pada pelatihan diri, kamu belum cukup serius untuk menjalaninya. Kamu cepat untuk mengambil sumpah, tapi kamu juga cepat memungkirinya Jika kamu terus mengubah pikiranmu seperti itu, bagaimana mungkin kamu dapat mencapai tujuan?”

Pada saat ia mendengar perkataan itu, tiba-tiba bhiksu muda merasa malu sendiri. Ia mengetahui gurunya benar. Setelah merenung beberapa saat, ia mengambil keputusan untuk mendedikasikan dirinya pada latihan diri lagi. Ketika bhiksu tua menyuruhnya untuk mendahuluinya, bhiksu muda tidak berani melakukannya. “Guru, kali ini saya benar-benar setia dengan janji saya. Saya akan memegang teguh janji itu dan tidak akan pernah keluar lagi.”

Merasakan keteguhan muridnya, bhiksu tua tersenyum. Kemudian, mereka berdua berjalan berdampingan, berbicara, dan tertawa riang bersama-sama.

https://sinarnurani.wordpress.com/