Sucikan Pikiran Manusia Agar Dunia dan Alam Menjadi Harmonis

(oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira; Ketua Sangha Mahayana Buddhis Internasional)

Setiap perayaan hari besar agama Buddha, kita sebagai siswa atau umat Buddha bukan hanya wajib melaksanakan ritual, kegiatan ceremonial, atau aktivitas kebajikan saja, melainkan kita harus terus meneladani sikap dan perilaku Buddha yang patut ditiru dan digugu. Utamanya sebelum dan sesudah perayaan atau upacara ritual,  mari kita laksanakan introspeksi, refleksi, mengevaluasi penyakit batin dan kecenderungan mental ini, mengkaji moralitas dan spiritualitas kita sampai dimana? Tentu bila didapat ada penyakit atau kekurangannya maka harus segera di obati dengan Dharma yang sesuai dan efektif.

Perlu disadari, melatih diri adalah bagian utama dari mengisi kehidupan manusia, mencapai kesucian diri adalah tujuan utama umat manusia saat mengalami tumimbal lahir di alam manusia. Barang siapa yang lalai, lengah dan mengabaikan praktik kesucian diri, maka kekotoran batinnya akan tumbuh berkembang, sehingga kebodohannya akan meluas dan aksi kejahatan dipastikan merajarela. Sebaliknya bila kesucian hati dan pikiran terus dikembangkan, maka pikiran negatif yang penuh keserakahan, kebencian dan kebodohan akan lenyap, berganti hati yang penuh cinta kasih, belas kasih, simpati dan keseimbangan batin akan tumbuh subur, sehingga dapat memasuki arus kesucian, kelak akan terbebas dari lingkaran tumimbal lahir yang menyakitkan.

Perlu diketahui bahwa setiap makhluk mempunyai benih Buddha, dapat mengembangkan kesadaran Buddha, berpotensi jadi Buddha dan kelak bakal jadi Buddha. Artinya, hakikat Kebuddhaan pada dasarnya sudah dimiliki oleh semua makhluk hanya dikarenakan khayalan, kemelekatan dan pikiran jungkir balik sehingga kesejatian diri mereka tidak disadari, tidak di manfaatkan dan tidak dikembangkan, sehingga mereka terbenam dalam siklus tumimbal lahir, pengalami derita yang tidak berakhir.

Setiap manusia mempunyai watak, kecenderungan atau karakter, yang masing-masing bersifat “unik” yang lain daripada yang lain. Darimanakah asal watak, kecenderungan atau karakter ini berasal? Apakah karena ditakdirkan sehingga tidak bisa “disucikan”? Bukan, agama Buddha tidak mengenal kata ‘Takdir’ yang diciptakan makhluk ‘Super Kuasa’, melainkan semua kondisi dibentuk dan diciptakan oleh diri sendiri, untuk diri sendiri.  yaitu kondisi fisik, mental dan lingkungan yang berupa: watak, kecenderungan, karakter, dan hubungan/jodoh semua terbentuk dari timbunan akumulasi karma (timbunan karma pikiran, ucapan dan perbuatan) setiap individu tersebut sejak masa kehidupan-kehidupan lampaunya yang tidak terbilang, semenjak tiada awal kita berkelana dalam nuansa khayal, agresi dan nafsu untuk mengarungi lautan samsara yang tidak bertepi, telah menimbun dan mengembangkan aneka kesadaran, dan bermacam perbuatan baik atau buruk yang disimpan di dalam gudang memory kesadaran. Sehingga setiap kelahiran, selalu membawa sifat, perangai dan berbagai kondisi. Oleh karena itu, setiap makhluk pasti membawa bentuk kondisi kelahiran, watak kecenderungannya, kemampuan dan bentuk kesadarannya. Setiap makhluk berjodoh dengan kondisinya dan lingkungannya.

Karena kebodohan manusia sehingga mereka tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang jahat, mana yang benar  mana yang sesat, mana yang khayal mana yang realita. Karena manusia diliputi kebodohan yang yang berlangsung lama, sehingga memiliki watak atau kecenderungan, yang menyenangi hal-hal sesuai kecenderungannya dan menciptakan karma  yang bervariasi sesuai tabiat kecenderungannya  sehingga  kehidupan manusia penuh dinamika dualitas antara baik-buruk, benar-salah, sadar-lengah,  dan efek pengaruhnya terbentuklah delapan penjuru angin, seperti sukses-gagal, untung-rugi, dipuji-dicela, bahagia-derita yang mendominasi kehidupan manusia. Setiap watak, perilaku individual dan kondisi mereka dapat mempengaruhi sekelilingnya. Bila saja watak dan perilaku umat manusia yang tak terhitung banyaknya cenderung negatif tentu mempengaruhi tata ruang menjadi rusak, bumi menjadi rusak alam pun ikut rusak sehingga tidak  harmonis dengan kehidupan manusia. Sebaliknya bila watak dan perilaku manusia di muka bumi ini menjadi baik maka dunia pun menjadi aman dan nyaman untuk dihuni dan alam pun menjadi harmonis bagi kehidupan manusia.

Corak watak manusia umumnya berasal dari kelanjutan kehidupan sebelumnya, dibentuk  oleh didikan keluarganya, dan dipengaruhi oleh pergaulannya. Sebenarnya watak manusia tersebut dapat diubah, dimurnikan, dan berkebajikan, dimulai dari pandangan dan pikiran benar, adanya kesadaran dan kearifan, perjuangan, tekad dan konsisten untuk merubah dan memperbaiki watak dan nasibnya. Juga karena segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal, sunya (kosong) dan Anatta (tanpa inti), sehingga semua kondisi bisa berubah, dirubah dan diperbaiki. Yang kotor bisa dimurnikan, yang khayal bisa disadarkan dengan realita, yang jahat bisa dirubah menjadi bajik, yang bernafsu bisa di sucikan, yang bodoh bisa dikembangkan kebijaksanaan, yang sesat bisa di lenyapkan dengan kebenaran, yang derita bisa dirubah menjadi kebahagiaan.

Ajaran utama Agama Buddha secara singkat hanya ada tiga, yaitu: Jangan Berbuat bodoh dan jahat; Sempurnakan segala kebajikan; Sucikan hati dan pikiran. Bila diuraikan bisa menjadi sepuluh alam (dasa dhatu), yaitu: 1. Perilaku kejahatan yang dilandasi kebencian akan dilahirkan ke    alam neraka; 2. Perilaku kejahatan yang dilandasi keserakahan akan dilahirkan ke alam setan kelaparan; 3. Perilaku kejahatan yang dilandasi kebodohan akan dilahirkan ke alam binatang; 4. Perilaku kebajikan yang dilandasi kedengkian dan nafsu akan dilahirkan ke alam asura (raja setan); 5. Perilaku kebajikan yang disertai pamrih dan nafsu akan dilahirkan ke alam manusia; 6. Kebajikan yang disertai kemelekatan  dan memiliki kecenderungan akan dilahirkan ke alam dewa; 7. Perilaku kesucian yang mengandalkan Buddha Dharma akan menjadi Arahat; 8. Perilaku kesucian dengan usaha sendiri akan menjadi Prayetka Buddha; 8. Perilaku kesucian dan kebajikan penolong makhluk adalah Bodhisattva; 10. Perilaku kesucian dan kebajikan sudah sempurna akan menjadi Buddha.

Meditasi Sesuai Watak Dalam Agama Buddha
Pemilihan dilakukan berdasarkan pada watak atau kecenderungan batin seseorang yang akan melatih meditasi. watak atau kecenderungan batin ini dikenal juga dengan istilah ‘caritta’. ada 6 jenis watak orang yang belum mencapai kesucian:

  1. Watak Penuh Nafsu (Raga Caritta)
    ciri-ciri watak ini didominasi oleh nafsu keinginan duniawi, cenderung terikat terhadap objek-objek yang menyenangkan. Seperti keterikatan terhadap musik, wewangian, makanan lezat, dan sebagainya. Juga memiliki sifat serakah, selalu mengambil lebih dari kebutuhannya. objek meditasi yang sesuai untuk orang yang berwatak ini adalah sesuatu yang tidak menyenangkan indra, yaitu merenungkan salah satu jenis mayat atau kotoran tubuh.
  2. Watak Kebencian (Dosa Caritta)
    Ciri-ciri watak ini adalah kecenderungan marah, membenci, serta iri hati. Emosinya tidak stabil sehingga tidak dapat mengendalikan kemarahannya. Objek meditasi yang sesuai untuk watak ini adalah sesuatu yang lembut atau indah, yaitu 4 kesadaran tak terbatas dan perwujudan warna biru, putih, merah, dan kuning.
  3. Watak Dungu (Moha Caritta)
    Ciri-ciri watak ini adalah kecenderungan bingung, lamban dan malas, diliputi kegelapan batin. Dungu atau bodoh maksudnya tidak mampu membedakan baik dan buruk, bukannya berarti tidak dapat menguasai ilmu pengetahuan. Objek meditasi yang sesuai untuk watak ini adalah keluar-masuknya nafas.
  4. Watak Spekulatif (Vitaka Caritta)
    Ciri-ciri watak ini adalah kecenderungan pikiran yang berkeliaran, tergesa-gesa, mudah gugup atau cemas bahkan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi sekalipun. Sulit sekali bagi orang berwatak spekulatif ini untuk merasakan kedamaian. Objek meditasi yang sesuai untuk watak ini sama dengan orang yang memiliki watak dungu, yaitu keluar-masuknya nafas.
  5. Watak Mudah Percaya (Saddha Caritta)
    Ciri-ciri watak ini adalah kecenderungan mudah percaya, polos, dan biasanya rendah hati. Objek meditasi yang cocok bagi orang berwatak ini adalah perenungan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha; perenungan terhadap sila atau moralitas, kemurahan hati dan perenungan terhadap kebajikan para dewa.
  6. Watak Cerdas (Buddhi Caritta)
    Ciri-ciri watak ini adalah kecenderungan menekankan pengertian, selalu ingin tahu dan meneliti. Orang yang memiliki watak ini sangat cerdas. Namun perlu kita sadari, bahwa kecerdasan tidak selalu merupakan keuntungan jika tidak bisa diiringi dengan pengertian yang benar atau kebijaksanaan untuk membedakan hal yang pantas dilaksanakan dan hal yang tidak pantas dilaksanakan. Objek meditasi yang sesuai untuk watak cerdas ini antara lain perenungan terhadap kedamaian Nibbana, kematian, makanan yang menjijikan, analisis terhadap 4 unsur(air, tanah, api dan udara), dan keluar masuknya nafas.

MAJJHIMA PATIPADA
Majjhima Patipada ialah praktek “Jalan-Tengah” yang diajarkan oleh Sang Buddha. Hingga saat ini, dikenal tiga macam praktek / “Jalan”, dan salah satu di antaranya adalah Majjhima-Patipada yang diajarkan oleh Sang Buddha, sebagai suatu solusi dari dua jalan yang bersifat ekstrim.Penjelasan mengenai majjhima-patipada dan kedua jalan lain yang bersifat ekstrim adalah sebagai berikut :

  1. Atthakiramatanuyoga, ialah praktek dengan penyiksaan diri yang keras. Praktisi di jalan ini akan mengekang diri dengan sangat keras, misalnya makan dengan porsi sangat sedikit, tidur sedikit, praktek sepanjang hari, kadang-kadang tidak makan (puasa) selama tujuh hari, atau hingga empat-puluh hari. Praktisi di jalan ini juga ada yang menahan napas sekuat ia bertahan, setelah cukup lama baru ia akan menarik napas kembali; berulang kali ia akan melakukan hal itu dengan maksud agar cepat mencapai kesucian dan pembebasan. Sang Buddha sangat tidak menganjurkan praktek ini, karena praktek ini tidak bermanfaat bagi pembebasan, malah hanya akan menghasilkan pernderitaan baik fisik maupun batin. Sang Buddha sendiri pernah melakukan praktek tersebut, menahan nafas hingga keluar suara mendesis dari telinganya, puasa selama empat-puluh hari, menutup telinga hingga tidak mendengar suara dari luar. Dan kemudian Sang Buddha meninggalkan praktek ekstrim tersebut.
  2. Kamasukhanikanuyoga. Praktisi di jalan ini berkebalikan dengan praktisi di jalan sebelumnya, sebab praktisi di jalan ini justru mengumbar pikirannya sedemikian rupa sehingga sangat melekat kepada kenikmatan indriya. Praktisi di jalan ini menggunakan perumpamaan gelas yang diisi dengan air terus-menerus hingga akhirnya air tersebut tumpah-ruah, dan air di dalam gelas menjadi bersih. Praktik keliru ini masih banyak dilakukan oleh orang-orang yang mengatasnamakan diri berjalan di jalan “mistik”, yaitu praktek yoga melalui “pengumbaran” hubungan seksual ; meskipun demikian, praktek ini tidak menggambarkan “Tantrayana” yang sejati.
  3. Majjhima Patipada. Ini adalah “Jalan-Tengah” yang diajarkan oleh Sang Buddha. Sebelum kemunculan Beliau, jalan ini tidak dikenal, di belahan bumi manapun juga. Sang Buddha, melalui majjhima-patipada, mengajarkan para siswa untuk menghindari kedua ekstrim tersebut diatas, yaitu ekstrim penyiksaan diri di satu sisi, dan ekstrim pengumbaran hawa nafsu di sisi lain. Majjhima patipada mengajarkan kita untuk: Jangan terlalu menderita, jangan terlalu berbahagia, jangan malas, jangan terlalu duduk lama (kalau lelah beristirahatlah), jangan terlalu lama berdiri (kalau lelah berjalanlah). Praktek “pensucian-diri” ini haruslah disesuaikan dengan kondisi tubuh dan tergantung kilesa (kekotoran batin) kita masing-masing. Yang penting dari “jalan” menuju Nibbana ini adalah, tersingkirnya kilesa dari diri kita masing-masing. Siksaan yang hebat tidak berarti kekotoran batin dengan sendirinya tersingkirkan, apalagi pemuasan hawa nafsu dan berbagai kemelekatan indria. Menurut majjhima-patipada, kita tidak perlu menyiksa diri dengan tidak makan selama berpuluh-puluh hari, karena ini hanya akan membuat tubuh tidak berdaya; makanlah sesuai dengan kebutuhan jasmani, tetapi hati-hati akan makanan yang dapat menimbulkan ketagihan dan kemelekatan, karena akan mempertebal kilesa (kekotoran batin). Sebaiknya kita juga memutuskan pergaulan dengan orang yang tidak sesuai dengan kita, misalnya orang-orang yang suka mabuk-mabukan, suka bicara kasar, suka hal-hal pornografi, dan lain-lain hal yang bersifat pengumbaran nafsu indriya, sebab ini akan mengacaukan praktek kita. Tinggallah dalam tempat yang sunyi, jangan membuang waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat bagi kesucian, senantiasa pikirkan dan renungkan Dhamma. Praktek yang baik akan mendatangkan hasil (phala) paling rendah sampai Jhana-samapati dan yang paling tinggi sampai tujuan akhir  NIBBANA (Sanskrit : Nirvana).

Saat bermeditasi, kita akan mendapat halangan. Halangan tersebut berupa “Panca-Nivarana”(Ke Lima Rintangan adalah nafsu-indriawi (kamacchanda), kehendak-jahat (vyapada), kelambanan dan kemalasan (thina middha), keresahan dan kekhawatiran (uddhacca kukkucca), dan keraguan (vicikiccha). dan “Dasa Palibodha”.

Kesenangan indriawi memang manis seperti madu, Tetapi membuat batin menyimpang dan kacau. (Sutta Nipata :50)

Sepuluh Macam Palibodha
Palibodha berarti gangguan dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah dan tidak mampu memusatkan pikiran pada obyek. Palibodha ini ada sepuluh macam, yaitu :

  1. Avasa (tempat tinggal);
  2. Kula (pembantu dan orang yang bertanggung jawab)
  3. Labha (keuntungan);
  4. Gana (murid dan teman)
  5. Kamma (pekerjaan);
  6. Addhana (perjalanan)
  7. Ñati (orangtua, keluarga, dan saudara);
  8. Abadha (penyakit)
  9. Gantha (pelajaran);
  10. Iddhi (kekuatan gaib)

Ketika melaksanakan meditasi, para yogi (praktisi) sering mendapat gangguan yang disebut Palibodha. Contoh konkrit dari palibodha ini adalah : Ia merasa khawatir akan tempat tinggalnya, terikat dengan rumahnya, ia merasa khawatir akan pembantunya dan orang yang bertanggung jawab atas harta bendanya, Ia merasa khawatir akan persoalannya, apakah meditasi ini akan membawa keuntungan baginya, ia merasa khawatir akan murid-murid dan teman-temannya, ia merasa khawatir akan pekerjaannya yang belum selesai, ia merasa khawatir akan perjalanan jauh yang harus ditempuhnya, ia merasa khawatir akan orang tuanya, keluarganya, dan saudara-saudaranya, ia merasa khawatir akan kemungkinan timbulnya penyakit, ia merasa khawatir akan pelajaran yang ditinggalkannya, ia merasa khawatir akan bermacam-macam kekuatan magis yang dipertunjukkan, takut akan kemerosotan kekuatan magis yang telah dimilikinya. Palibodha tersebut harus dibasmi, agar kita dapat memusatkan pikiran dengan baik.

CHANTING MEMBEBASKAN PIKIRAN
Chanting adalah pendarasan/penguncaran/pembacaan terus menerus dan berkesinambungan serangkaian bunyi atau doa tertentu. Metoda ini dijumpai dalam berbagai agama/kepercayaan. Namun chanting dalam  Buddhisme bukanlah doa dalam arti permohonan kepada suatu sosok Maha Kuasa.  Praktisi chanting tidak meminta sesuatu. Dalam Buddhisme, chanting digunakan sebagai sarana untuk belajar (pariyati), praktek (patipatti) dan analisa (pativedha) mengenai Dharma.

Menguncarkan kata kata tertentu  akan mengkonsentrasikan pikiran, dan mengirim getaran kekuatan ke atmosfer lingkungan, terlebih jika dilakukan berkelompok. Semua tradisi  Buddhis mengenal pendarasan teks, Sutta Pali, Sutra Sansekerta, atau Mantra. Chanting dalam tradisi Buddhis adalah  inti praktik  harian yang akan memupuk kebajikan. Tradisi yang berbeda mempunyai cara berbeda pula dalam hal kecepatan dan irama pelafalan.

Kita sering mendengar ungkapan bahwa ada 84.000 pintu Dharma. Buddha, Guru Agung Yang Maha Bijaksana, memahami bahwa tidak setiap orang cocok dengan satu metoda dalam melaksanakan Dharma. Meditasi adalah cara untuk mencapai pembebasan, namun karena berbagai sebab dan alasan, seringkali seseorang kesulitan dalam mempraktikkannya. Dalam hal ini Chanting adalah merupakan Upaya Kausalya, sebuah cara yang lebih sederhana dalam usaha berlatih meditasi.

Sebagian orang merasa chanting  sangat membosankan dan memandang remeh kegiatan tersebut, sebagian lain merasa lebih baik batin dan jasmaninya setelah melaksanakan chanting. Untuk menjelaskan, kita lihat struktur otak manusia. Ada dua belahan otak, bagian kiri mengontrol rasio, pemikiran dan hitungan matematika, logika, proses bertahap, dan sains. Bagian kanan untuk memahami seni, bahasa, keindahan, intuisi dan sejenisnya, yang kontras dengan bagian kiri.

Menariknya adalah, kedua bagian tersebut persis sama besarnya, berarti manusia seharusnya menggunakan kedua belah otaknya secara sama. Sayangnya sejak masa Revolusi Industri, kehidupan modern mengedepankan  Sains dan Teknologi, dan mengabaikan pikiran intuitif. Semua berpacu   dalam teknologi, mendewakan pikiran intelektual, dan membuang pikiran intuitif. Tapi  kini para ahli di bidang Fisika khususnya Fisika Kuantum justru mulai berpaling pada pemikiran intuitif, tanpa meninggalkan intelektual, seperti tercermin dalam kata-kata Max Planck, bapak Fisika Kuantum:

“Sains … berarti upaya tanpa jeda, dan perkembangan yang selalu maju ke sebuah tujuan, yang bisa dipahami oleh intuisi puitis, tapi tidak sepenuhnya ditangkap oleh intelek.”

Salah satu aktifitas yang melatih, dan memajukan pikiran intuitif adalah menguncarkan Paritta/Sutra/Mantra. Dan, itulah latihan batin spiritual dan intuitif yang dianjurkan Buddha untuk kita kembangkan. Jadi secara ringkas chanting  bermanfaat karena alasan-alasan sebagai berikut:

1.  Ketika seorang ibu menyanyikan kidung bagi anaknya, si anak akan tenang beristirahat. Ketika lelah, kita mendengarkan musik  lembut. Ilmuwan melihat bahwa tumbuhan jika didekatkan pada bunyi teratur dan berirama akan tumbuh  lebih subur. Kristal air akan berubah teratur dan indah jika air didekatkan bunyi berirama. Demikian pula efek bunyi dalam  chanting  menciptakan getaran menyenangkan  dalam tubuh dan otak, sehingga mempengaruhi gelombang otak, menyembuhkan tubuh dan batin, meningkatkan kadar hormon oksitoksin yang membuat seseorang merasa nyaman, karena mengandung efek penghilang sakit.

(Di Jepang, Dr. Masaru Emoto dari Universitas Yokohama dengan tekun melakukan penelitian tentang perilaku air. Air murni dari mata air di Pulau Honshu didoakan secara agama Shinto, lalu didinginkan sampai -50C di laboratorium, lantas difoto dengan mikroskop elektron dengan kamera kecepatan tinggi. Ternyata molekul air membentuk kristal segi enam yang indah.

molekul you foolMolekul air yang terbentuk buruk
jika kita mengatakan “kamu bodoh”
molekul thank youKristal air yang terbentuk indah
jika kita mengatakan “cinta dan terima kasih”

Percobaan diulangi dengan membacakan kata, “Arigato (terima kasih dalam bahasa Jepang)” di depan botol air tadi. Kristal kembali membentuk sangat indah. Lalu dicoba dengan menghadapkan tulisan huruf Jepang, “Arigato”. Kristal membentuk dengan keindahan yang sama. Selanjutnya ditunjukkan kata “setan”, kristal berbentuk buruk. Diputarkan musik Symphony Mozart, kristal muncul berbentuk bunga. Ketika musik heavy metal diperdengarkan, kristal hancur. Ketika 500 orang berkonsentrasi memusatkan pesan “peace” di depan sebotol air, kristal air tadi mengembang bercabang-cabang dengan indahnya. Dan ketika dicoba dibacakan doa Buddhis, kristal bersegi enam dengan lima cabang daun muncul berkilauan. Dengan penelitian ini, jelaslah sudah bahwa pengobatan alternatif melalui air yang telah diberi doa ternyata bisa memberikan kesembuhan kepada penyakit yang berat sekalipun. Jika dulu banyak orang beranggapan penyembuhan penyakit melalui air yang diberi doa adalah musrik/khayal,  maka oleh ilmu pengetahuan telah dibuktikan bahwa doa yang dibacakan pada air mampu merubah air tersebut menjadi ‘air penyembuh’. Jadi semua ini sejalan dengan ilmu pengetahuan.

Penelitian Dr.Masimoto inipun tidak hanya mencakup air melainkan juga makanan lainnya yang ternyata mampu memberikan reaksi positif dan negatif. Inilah rahasianya mengapa kita dianjurkan oleh agama untuk berdoa sebelum makan/minum. Doa yang baik ternyata akan mampu merubah air/makanan menjadi sesuatu yang baik bagi tubuh.

Penelitian ini sungguh menyadarkan kita bahwa ucapan, pikiran dan perbuatan yang tidak baik ternyata mampu mengalirkan energi negatif yang merubah segala sesuatunya menjadi tidak baik.

Untuk itu marilah kita berhati-hati! apalagi tubuh kita sendiri ternyata terdiri dari 70% air. Jika kita memiliki pikiran negatif maka air dalam tubuh kita juga akan membentuk pola yang negatif. Akibatnya malah bisa menimbulkan penyakit atau masalah lainnya. Tidaklah mengherankan jika stress ternyata memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap timbulnya penyakit.

Apabila ada orang yang melakukan chanting, pendarasan/penguncaran/pembacaan terus menerus dan berkesinambungan baik itu Paritta, Sutra, Mantra atau Buddhasmrth (NienFo) maka air dan darah tubuhnya akan menjadi positif, dapat memperbaiki kerusakan dan  kekacauan organ tubuh, sehingga tubuh orang tersebut sehat, jarang berpenyakitan, dan usia kehidupan bisa jadi panjang. Begitupula lingkungan tempat tinggal, udara dan atmosir lingkungan akan menjadi baik dan bersahabat dengan kehidupan manusia.)

2.  Seseorang biasa bernapas 15 sampai 20 tarikan semenit. Ketika melakukan chanting, napas mulai melambat tanpa disadari, menjadi 5 sampai 8 tarikan per menit. Di jaman serba cepat ini, semua yang dapat memperlambat dan mengatur napas, sangatlah bermanfaat. Tubuh menjadi relaks, tekanan darah normal dan stabil.

3.    Jika dijalankan sepenuh hati dan konsentrasi, emosi negatif akan ke  luar. Sama halnya dengan bernyanyi, chanting adalah latihan fisik yang membersihkan paru paru dan otot dari racun akibat stres dan masalah.

4.    Chanting  membawa batin ke dalam irama yang teratur dan tetap, seperti  halnya gerak edar matahari, pertumbuhan tanaman, perubahan musim, detak jantung, hempasan gelombang. Orang yang sehat batin dan  jasmani adalah yang mempunyai irama hidup teratur seimbang.

5.    Chanting membersihkan pikiran. Saat seseorang melantunkan bunyi melodius, ia menggunakan jaringan syaraf yang berbeda dengan ketika ia bicara. Jaringan saraf otak adalah seperti peta jalan di pemukiman padat penduduk. Beberapa jalan adalah jalan utama yang sering dilalui, lainnya bagai jalan pinggiran yang jarang dilewati. Membaca bahasa dan lafal berbeda, melantunkan Paritta/Sutra/Mantra, adalah seperti melalui jalan yang jarang dilewati. Jalur yang sering kita gunakan diberi kesempatan istirahat, dan dengan demikian dapat dibersihkan.

6.    Chanting juga memfokuskan pikiran dan merelakskan tubuh, serupa dengan meditasi. Dalam taraf tertentu bahkan bisa dicapai tingkat ketenangan yang mendalam.

7.    Jika pikiran berhenti berkeliaran, ucapan dan perbuatan negatif juga berhenti. Ini berarti kita telah membuat kebajikan selama chanting.

8.    Ketika memusatkan perhatian pada kata demi kata, kita juga belajar bagaimana memusatkan pikiran pada Dharma. Gelombang pikiran akan selaras dengan para Makhluk Suci, yang pernah mendengar Dharma langsung dari Buddha,  mengingat usia mereka jauh lebih panjang dari manusia. Kekuatan tersembunyi dalam paritta/sutra/mantra akan membangkitkan kekuatan alam di sekitar kita.

Kita mendapat semua manfaat tersebut  tanpa mengetahui arti dari apa yang kita baca. Tentunya akan lebih baik jika mengetahui artinya dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat belajar bagaimana tekad Agung para Bodhisattva, bagaimana mengikis ego dan mengembangkan benih keBuddhaan (Bodhicitta) kita.  Kata-kata dalam Paritta/Sutra/Mantra membantu kita menyadari kekerdilan si “aku” dibandingkan welas asih dan kasih sayang tak terbatas para Buddha, Bodhisattva dan Mahasattva.

Demikianlah artikel “Sucikan Pikiran Manusia Agar Dunia dan Alam menjadi Harmonis”, semoga bisa di ambil hikmahnya dan bermanfaat.  Teriring doa dan harapan, semoga semua makhluk bisa mensucikan hati dan pikiran, untuk meredakan kerusakan alam dan menumbuhkan kembangkan keharmonisan ke segenap penjuru, mengharapkan dunia menjadi aman, damai dan harmonis, bumi tempat kita huni masih layak dan relevan untuk dihuni, dan alam pun bersahabat dengan kehidupan manusia. Akhir kata semoga semua makhluk berbahagia, sadhu-sadhu-sadhu.

Sumber referensi: www.facebook.com/notes/mahabodhi-seroja/chanting-membebaskan-pikiran