Pencerahan Untuk Kebahagiaan Dalam Diri Masing-Masing

(oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira)

Salam Sejahtera, Namo Buddhaya

Pendahuluan
Guru agung yang maha sempurna Hyang Buddha walau tubuh Manusia Buddha sudah mangkat  (Parinirvana) tetapi Beliau memiliki banyak tubuh antara lain: Nirmanakaya (tubuh penjelmaan); Tubuh Sambhogakaya (tubuh cahaya) dan Tubuh Absolutnya yang dikenal sebagai Dharmakaya. Tubuh Dharmakaya (Jati Diri) ini yang dimiliki oleh para Buddha sejatinya tidak lahir pun tidak mati,  tidak datang pun tidak pergi.  Walau Tubuh Dharmakaya ini kosong tapi tanggap, diam namun menerangi, eksis tapi tidak terlihat. Walau tubuh manusia Buddha sudah mangkat tapi tubuh Dharmakaya masih terus eksis, untuk membimbing dan melindungi kita semua. Kita masih sebagai umat awam belum mencapai pencerahan sehingga belum mampu melihat tubuh Dharmakaya Buddha, namun, kita masih beruntung karena berjodoh dan mendapatkan ajaran Buddha berupa Dharma. Buddha bersabda: saat Buddha sudah tiada maka Dharmalah yang menjadi pengganti Guru Buddha. Barang siapa yang mempraktikkan Dharma, ia melihat Buddha. Walau ia berada ditengah-tengah  Buddha atau bisa melihat Buddha,  bila ia tidak mempraktikkan Dharma, sejatinya ia belum melihat Buddha.

Kekosongan & Eksistensi adalah Non Dualitas
Guru Buddha bergelar sebagai Raja Kekosongan, Dharma berisikan ajaran kekosongan, Sangha adalah para siswa yang mempraktikkan kekosongan, menyadari kosongnya tubuh, kosongnya  hati, kosongnya karakter, kosongnya dharma. Dunia terbentuk dari banyaknya unsur tapi ia bersumber dari kekosongan. Ia adalah “kekosongan” yang bereksisitensi, dan ia tidak mendua apabila direnungkan secara realita. Kekosongan tidak berbeda dengan eksisitensi dan sebaliknya apabila kita menganalisanya dengan kebijaksanaan yang mendalam. Kata “kekosongan” sebenarnya juga tidak tepat, karena itu adalah konsep yang diciptakan oleh pikiran kita. Kekosongan sebelum “kekosongan” adalah ‘Hakekat Pikiran’ kita, sekaligus hakekat dari segala sesuatu.  Pencerahan berarti menyadari semua ini. Ia juga berarti menyadari, bahwa segala sesuatu memiliki sumber yang sama, yakni “Kekosongan.”  Penderitaan dan kebahagiaan berasal dari sumber yang sama, yakni pikiran dan kekosongan. Dengan berpikir seperti ini, kita tidak lagi menolak penderitaan secara keras, dan bernafsu mendapatkan kebahagiaan. Hilangnya penolakan dan nafsu berarti juga ketenangan sepenuhnya. Kita lalu hidup dari titik asali (bersifat asal) dari segala sesuatu, yakni: kekosongan. Memahami kekosongan benar adalah menuju pencerahan. Pencerahan sedemikian dekat dengan kita, dan sebegitu kentara sehingga biasanya tidak dikenal. Tetapi pencerahan tidak dapat di raih melalui asketisisme yang keras, dan tidak diperoleh lewat konsep pemikiran.

Di dalam kekosongan tiada organ indria, tiada sensasi, tiada kesadaran, tiada nama, tiada rupa, tiada aku, tiada kepribadian, tiada corak kehidupan, tiada unsur keusiaan, tiada kebodohan, tiada derita, penyebab derita, akhir derita dan jalan membebaskan derita. Begitupula  tiada kebijaksanan dan tiada yang diperoleh. Melepaskan pikiran jungkir-balik, khayalan dan mimpi mencapai pencerahan. Disebabkan ada ilusi  maka dibutuhkan pencerahan. Jika tidak ada ilusi untuk apa pencerahan? Lalu dari mana pencerahan itu muncul? Pencerahan bisa diraih bilamana kita dapat melepaskan segala corak, melepaskan segala nama, melepaskan segala atribut dan  melepaskan semua kondisi batin. Utamanya tidak melekat kepada dualitas seketika pencerahan bisa muncul. Perlu kita sadari, segala sesuatu yang berkondisi adalah sunya (kosong). Semua fenomena berawal dari kekosongan; Semua keberadaan berintikan kekosongan, Semua perubahan terjadi karena karakteristik kekosongan, dan semua akan lenyap menjadi natural kekosongan. Kekosongan bukan pula nihilis total, ia akan muncul kembali bila kondisi mendukung. Lalu apa perbedaannya cerah dan bijak? Jawabannya adalah memahami kekosongan adalah cerah, memahami eksistensi adalah bijak. Begitupula memahami diri sendiri adalah cerah, sedangkan memahami makhluk lain adalah bijak. Menyadari tiada hati tiada kondisi, tiada pemikiran tiada masalah, tiada keinginan tiada derita. Bila terbebas dari dualitas subjek and objek tercapailah  keheningan dan kedamaian seutuhnya.

Melatih diri secara konvensional, adalah melatih konsentrasi yang berkesinambungan akan mendatangkan ketenangan (kedamaian); Ketenangan yang mendalam akan menghadirkan kejernihan (kemurnian);  Kejernihan yang sangat bening melahirkan pencerahan; Pencerahan yang menyeluruh  menumbuhkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan totalitas dapat membebaskan penjara siklus kelahiran dan kematian. Kebijaksanaan luhur ini pula dapat menumbuhkembangkan cinta, kasih, belas kasih, simpati dan keseimbangan universal kesegenap penjuru.

Kebahagiaan Menurut Ajaran Buddha
Setiap manusia pasti ingin bahagia. Namun, setiap orang memiliki persepsi berbeda tentang bahagia, demikian pula cara untuk menjadi bahagia. Meski tak mudah untuk selalu merasa bahagia, seseorang bisa menciptakan kebahagiaannya sendiri karena dari pola pikiranlah kebahagiaan seseorang dibentuk.

Dalam Dhammapada Citta Vagga dijelaskan bahwa: “Pikiran selalu menggelepar, bagaikan ikan yang dikeluarkan dari dalam air dan dilempar ke atas daratan; Pikiran orang gentar dalam usaha membebaskan diri dari jeratan mara. Pikiran itu sungguh sukar diawasi dan amat halus, yang mengembara sesuka hatinya. Karena itu hendaklah orang bijaksana menjaganya; pikiran yang dijaga dengan baik akan membawa kebahagiaan.”

Pada hakikatnya, bahagia dan sengsara atau kegelisahan dan ketenangan bersumber dari diri sendiri. Pikiranlah yang menciptakan kondisi, pikiranlah yang menuntut kondisi, pikiranlah yang membentuk kondisi, pikiranlah yang dipermainkan kondisi, Pikiran yang melekat kepada kondisi, dan pikiran pula yang melepaskan kondisi. Apa yang selalu dipikirkan manusia ia akan menjadi.

Pikiran memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pikiran yang menciptakan dan pikiran pula yang menentukan segala-galanya. Semua hal yang baik atau buruk semua dibentuk oleh pikiran. Pikiran dapat membuat manusia menjadi pahlawan atau pengecut, baik atau tidak baik, mulia atau hina, bahagia atau sengsara, tenang atau cemas, bahagia atau menderita, bijaksana atau bodoh, berhasil atau gagal dalam kehidupan. Oleh karena itu,  pikiran harus dijinakkan dan dikendalikan, selalu  diarahkan pada hal-hal yang baik agar dapat hidup bahagia.

Pikiran dapat menciptakan perdamaian dunia dan pikiran juga dapat menghancurkan dunia ini. Keadaan dunia masa lampau, masa sekarang dan masa depan sesungguhnya tercipta dari daya guna pikiran manusia. Pikiran yang dipersatukan oleh pikiran sekelompok orang, pikiran banyak yang bergabung dan didukung oleh sekelompok masyarakat, oleh suatu kelompok bangsa dapat menimbulkan perang dan damai, kemakmuran atau kemelaratan, pembunuhan, kekacauan, dan kerukunan serta gotong royong.

“Jalan Utama beruas delapan, berisi tentang pandangan besar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Dengan menjalankan jalan utama beruas delapan, maka akan lenyaplah dukkha (penderitaan), dan tercapailah kebahagiaan tertinggi, yaitu Nirwana.”

Buddha Bersabda:  Kebahagiaan tidak bisa dikejar, tidak bisa dimiliki, tidak bisa digunakan atau dihabiskan dan tidak bisa dibeli. Kebahagiaan adalah pengalaman spiritual dari menikmati setiap detik kehidupan kita dengan penuh rasa cinta, rasa syukur dan terima kasih.

Kemenangan menimbulkan kebencian; dan kekalahan hidup dalam penderitaan. Setelah dapat melepaskan diri dari kemenangan dan kekalahan, orang yang cinta  damai akan hidup bahagia.

Sang Buddha Bersabda: “Kebahagiaan dari nafsu kesenangan inderawi dan kebahagiaan dari berkah surgawi, belumlah sama dengan seperenambelas bagian daripada kebahagiaan karena lenyapnya nafsu keinginan”. Orang suci selalu berbahagia, yang batinnya telah bebas sepenuhnya, yang tidak dikotori oleh keinginan inderawi. Ia senantiasa tenang dan bebas dari kemelekatan” ( Samyutta Nikaya I )

Kebahagiaan bersumber dari kedamaian, tanpa adanya kedamaian hati tidak mungkin ada kebahagiaan. Tidak ada perdamaian dunia maka tidak ada kebahagiaan untuk semua makhluk. Oleh karena itu, kedamaian dan kebahagiaan adalah seiring dan sejalan yang dibutuhkan oleh umat manusia di muka bumi ini. Hyang Buddha menambahkan; “Kedamaian adalah pikiran, ucapan, dan perilaku orang yang sepenuhnya tenang dan tercerahkan oleh pengetahuan Kebenaran.” (Dhammapada 96) “Kedamaian sejati muncul di dalam diri manusia ketika pikiran terbebas dari kotoran batin; Objek eksternal tidak memberikan kedamaian.” (Tathagata: 39) Kembangkanlah jasa kebajikan, sebab dengan mengembangkan jasa kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. (Dhammapada Bab. 117)

Penyadari Fenomena Kesementaraan
Perlu diketahui, bahwa tubuh manusia terdiri empat unsur padat, cair, panas dan udara, adalah gabungan yang sangat rapuh, sumber kelapukan dan menjadi sarang penyakit. Tubuh manusia melalui sembilan lobang setiap saat mengeluarkan kotoran. Juga tubuh manusia ini mengalami proses lahir, tua, sakit dan mati. Demikian pula hati manusia, keberadaannya  tidak di dalam, tidak diluar, tidak di antaranya. Hati masa lalu sudah berlalu sehingga tidak di dapat, hati sekarang terus berubah sehingga tidak di dapat, hati yang akan datang belumlah tiba sehingga tidak di dapat. Hati manusia awam mengalami empat corak, yaitu:  timbul, melekat, berubah dan lenyap. Juga lingkungan bumi tempat tinggal manusia diliputi empat corak, yaitu: terbentuk, bisa di tinggali, rusak dan kiamat. Di dunia ini banyak  sekali terjadi gempa bumi, tanah longsor, tsunami, udara panas, dan badai. Nyatanya bumi ini bukan tempat yang aman untuk dihuni. Ditambah lagi,  kehidupan manusia dan dunianya masih diliputi hukum tiga corak kehidupan, yaitu: ketidakkekalan, tanpa kepemilikan dan dukkha. Lagi pula orang-orang duniawi masih mengalami siklus kelahiran dan kematian yang berulang-ulang di enam alam tumimbal lahir. Melihat kedemikianan kondisi manusia yang serba fana dan penuh dukkha ini, sadarkah kita? Apa makna dan tujuan kehidupan manusia di muka bumi ini? Lalu untuk apa kita masih kembangkan keserakahan, kebencian dan kebodohan terus menerus? Disebabkan orang-orang duniawi belum sadar, tidak mau mengembangkan kesadaran atau menghindari kesadaran,  sehingga enggan melihat realita kehidupan  singkat dan maya, akibatnya mereka  tidak menyadari fenomena kesementaraan ini. Karena pandangannya gelap dan pikiran bodohnya maka yang dipikirkan hanya mencari  ketenaran, keuntungan, kekayaan, kenikmatan dan pelayanan sampai tutup usia.

Pertanyaannya setelah mendapatkan semua yang dinginkan. Berapa lama semuanya bisa bertahan dan bisa dimiliki? Nyatanya saat ia lahir ia tidak membawa kekayaan materi apapun dari kehidupan lampau. Begitupula saat ia mati, ia pun tidak membawa kekayaan materi apapun yang telah diperjuangkan dengan darah dan keringat. Hanya kesadaran dan karmanya saja mengikuti kemana ia dilahirkan. Lalu kapan manusia bisa untuk  hidup bijaksana?  Hanya orang yang sadar mereka pergunakan tubuh manusia yang bersifat sementara ini untuk menumbuh kembangkan Bodhicitta, berjuang meraih  pencerahan, membina diri untuk tujuan pembebasan mutlak.

Tengoklah kehidupan para Buddha, Bodhisattva dan para makhluk suci walau kebanyakan hidup mereka bergelimang harta, kekuasaan dan kenikmatan, setelah melihat kenyataan hidup yang bersifat kesementaraan ini, mereka sadar, bisa melepas dan tanggalkan semua yang dimilikinya, membina diri mencari pembebasan dan mencapai buah kesucian bahkan kesempurnaan. Setelah pembebasan diraih lalu mereka membangun surga yang terbuat dari banyaknya permata indah, hidup mulia dan abadi. Seperti  Guru Agung Sakyamuni Buddha yang memiliki Surga Hua Cang, Amitabha Buddha memiliki Surga Sukhavati, dan Avalokitesvara memiliki empat surga, yaitu Surga Cen Fa Ming Ju Lai, Surga Mau Khung Cing Thu, kelak Surga Sukhavati juga milik Avalokitesvara Bodhisattva karena ia akan menjadi menjadi Buddha disana menggantikan Amitabha yang memasuki Maha Parinirvana. Surga keempatnya adalah di Istana Potala Kung. Sedangkan orang-orang awam yang masih mengalami kelahiran dan kematian yang berulang-ulang, tanpa kebijaksanaan telah banyak membangun istana di muka bumi ini. Berapa lama ia bisa nikmati? Hanya kilasan waktu ke sekejab saja. Tengoklah sejarah para raja, presiden atau para hartawan diberbagai negara, mereka semua berlomba-lomba membangun istana, lalu bagaimana akhirnya? Semua istana yang mereka bangun hanya bisa dinikmati sementara waktu saja, kelak mengalami kelapukan, rusak akhirnya runtuh menjadi monumen mati saja.  Kiranya,  semua yang dibangun hanyalah kesia-siaan, dan tidak berarti, karena berhadapan dengan kematian dan ketidakkekalan.  Nyatanya di dunia ini segala sesuatu yang berkondisi hanya bisa dipergunakan sesaat, tidak bisa dimiliki untuk selamanya. Tengoklah sejarah Guru Buddha pada zaman dulu, Beliau hanyalah membabarkan Dharma, membimbing dan melindungi para makhluk saja. Ia tidak membangun kuti pribadi, istana Dharma atau Pusdiklat  (Pusat pendidikan dan latihan) untuk para bhiksu sangha. Buktinya Buddha lahir di taman Lumbini dekat hutan, Menjadi pertapa juga di hutan, mencapai kesempurnaan di bawah pohon Bodhi di hutan, pembabaran Dharma juga kebanyakan di hutan,  dan terakhir memasuki Maha Parinirvana (mangkatnya) juga di hutan. Hutan telah menjadi mandalanya Bodhisattva untuk mencapai Kebuddhaan. Perjalanan hidup Buddha  diabdikan untuk membimbing dan menerangi kegelapan dunia pun tidak jauh dari areal hutan. Segala kebutuhan dan  keperluan Buddha  semuanya di sumbang oleh para umat dan dermaan saja.

Kembangkan Kesadaran Agung & Kebijaksanaan Bodhi
“Semua makhluk mempunyai Hakikat Kebuddhaan, Hakikat Kebuddhaan ini adalah Kebuddhaan yang benar; Bila tidak mengembangkan Hati Buddha, kemana lagi kita dapat memohon kepada Buddha?”

Pangeran Siddharta Gotama melepaskan tahta, harta  dan wanita menjadi petapa mencapai Kebuddhaan sehingga selamanya bahagia; Orang duniawi  melepaskan Potensi Kebuddhaan untuk mengejar tahta, harta dan wanita sehingga selamanya susah dan derita. Orang bijak mensunyakan Panca Skandha (artinya menyadari rupa tubuh, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran berintikan kekosongan) sehingga bebas derita; Orang duniawi cenderung merajarelakan Panca Skandha sehingga banyak derita; Orang bijak hatinya sunyi dan damai  karena terbebas dualitas; Orang duniawi hatinya risau dan susah karena terjebak dualitas; Orang bijak batinnya terang menyadari kefanaan sehingga berjuang melepas segalanya untuk jadi Buddha; Orang duniawi  batinnya gelap sehingga khayal mengejar ambisi dan terlena untuk hidup mewah melupakan Potensi Kebuddhaannya.

Berjuang untuk mengumpulkan kekayaan materi adalah fenomena datang dan pergi; Berjuang untuk dapatkan kepuasan hati adalah fenomena timbul dan lenyap; Berjuang untuk meraih kepintaran duniawi adalah fenomena pasang dan surut; Berjuang untuk eksistensi diri adalah fenomena hidup dan mati; Berjuang untuk mencapai pencerahan adalah tiada kebijaksanaan dan tiada yang di dapat; Berjuang untuk mencapai kesucian adalah tiada Aku dan Dharma; Berjuang untuk mencapai Nirvana adalah bebas dari fenomena dan noumena; Berjuang untuk mencapai Kebuddhaan adalah kesempurnaan non dualitas.

Orang duniawi hanya sibuk mengurusi kebutuhan tubuhnya saja yang mengalami kelahiran dan kematian; Orang bijak mencari Dharmakaya (Tubuh Absolut) nya yang tidak timbul dan lenyap; Orang duniawi hanya sibuk memanjakan dirinya saja yang khayal; Orang bijak selalu berusaha temukan Jati Dirinya yang realita; Orang duniawi hanya sibuk cari kondisi makmur di luar; Orang bijak mencari dan kembangkan mustika Buddha Natural yang tidak ternilai yang berada di dalam dirinya sendiri.

Jati diri yang bersemayam dalam tubuh bila tidak dibina akan memunculkan bermanifestasi menjadi gejolak hati, yang memunculkan beragam pikiran. Pemikiran bermanifestasi sebagai kata. Kata bermanifestasi sebagai perbuatan, tindakan dan tingkah laku, rutinitas tindakan berkembang menjadi kebiasaan, dan kebiasaan mengeras menjadi karakter (Watak). Watak membentuk nasib.  Corak nasib baik atau buruk semua bersumber dari pikiran. Keadaan baik maupun jahat dapat diubah oleh pikiran. Sakral dan profan timbul sejalan mengikuti pemikiran-pemikiran. Jadi lihatlah dengan jelas semua pemikiran, sebab setiap pemikiran  akan menjadi pola pikir; Pola pikir  akan jadi paradigma; Paradigma akan jadi cara pandang; Cara pandang  akan mengalir sebagai sumber sikap dan perilaku. Semua itu berlangsung secara bawah sadar, baik atau buruk akan mengalir dari sana. Pikiran baik atau buruk hanyalah sebagai gelombang ombak mengikuti kondisi angin. Begitu pula nasib baik atau buruk hanyalah fenomena kesementaraan. Akhir dari nasib baik maupun buruk semua menuju kematian. Kematian fisik tidak terelakkan, tetapi jati diri yang dilingkupi oleh  awan kesadaran dan terbungkus oleh karmanya melanjutkan  kehidupan di alam lain.

Jika dapat meletakkan satu pemikiran, itu akan merupakan satu kejap pikiran Buddha; Jika dapat meletakkan semua pemikiran, maka dapat memiliki pikiran Buddha terus menerus. Raja pemikiran menggambarkan pikiran setelah mengalami pencerahan. Ini bukanlah pikiran rasional yang menganalisis atau menilai; Sebaliknya, pikiran inilah basis dari semua Buddha. Walau pun makhluk hidup melekat pada hasrat dan antipati, mereka sesungguhnya tak pernah benar-benar terpisah dari pikiran murni. Begitu melepaskan semua kekesalan-kekesalan, pikiran-murni bakal terbit, akan bebas serta ringan, sama seperti Buddha. Bila pikiran murni terjerat kondisi ia memunculkan pikiran kekesalan; Sebaliknya pikiran kekesalan di dalamnya terkandung pikiran murni, sehingga pikiran kekesalan dan pikiran murni pada dasarnya adalah kesatuan tidak mendua, walau berbeda tapi intinya sama, tinggal bagaimana pergunakan pikiran-pikiran itu dengan bijak.

Penutup
Setiap hari adalah ‘Hari Berkah’ bagi yang menyadari; Setiap hari adalah ‘Hari Keberuntungan’ bagi yang dapat mensyurkuri dan berterima kasih, dan setiap hari adalah Hari Emas’ (berharga) karena adanya kesempatan untuk memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri dan melaksanakan kebajikan! Marilah kita semua meningkatkan keyakinan kepada Buddhadharma, mempelajari Buddhadharma, menghayati ajaran bijaksana-Nya,  mengembangkan tekad luhur ke atas untuk menapak jalan Buddha, ke bawah menolong semua makhluk. Perlu disadari: bahwa berbicara makan tidaklah kenyang, menghitung kekayaan orang lain tidak bisa kaya, artinya kita harus mempraktikkan benar-benar Buddhadharma dalam kehidupan sehari-hari, dengan konsisten, tekun dan berkesinambungan. Begitupula melaksanakan Buddhadharma tanpa target pun kita akan kehilangan arah, tidak bersemangat dan sulit mencapai tujuan. Oleh karena itu, target kita harus berjuang mencapai kesucian, minimal targetnya adalah  memasuki arus kesucian dalam kehidupan sekarang ini, atau di akhir kehidupan ini berbekal pahala cukup, tekad dan satukan hati untuk memuliakan nama Buddha, maka  dapat memasuki surga Buddha. Ingatlah,  terlahir sebagai manusia sangatlah sulit diperoleh, bisa berjodoh dengan Sang Triratna juga adalah sulit, jadi pergunakan tubuh manusia ini yang telah berjodoh dengan ajaran Buddha, untuk membina diri untuk melenyapkan kebodohan kita dan mengakhiri penderitaan kita, sebaliknya kita berjuang terus untuk mengembangkan Bodhicitta, mencapai pencerahan dan pembebasan mutlak.

Akhir kata, Semoga Semua makhluk berbahagia, Amituofo.