Melihat Tanpa Mengingat
Oleh: Reza A.A Wattimena
Pagi ini, cuaca cerah. Suasana sepi. Semua sudah berangkat, entah kerja atau sekolah. Saya menulis, seperti biasa.
Di kamar, yang ada tak hanya kamar. Ada ingatan terselip. Kenangan manis dan pahit selama puluhan tahun mengalir, tanpa diundang. Begitulah pikiran manusia.
Teringat pula kemarin. Bandara Soekarno Hatta yang penuh kenangan. Kurang lebih selama enam tahun, dari 2008 sampai 2014, ayah saya bolak balik menjemput saya di bandara, entah dari Surabaya atau Jerman. Sekarang, ia sudah meninggal.
Tawanya masih terbayang. Suaranya masih mengunjungi telinga. Rasa kangen datang seketika. Sedang apa dia sekarang? Tanyakan ke rumput yang bergoyang.
Melihat itu Mengingat
Melihat rupanya selalu disertai dengan ingatan. Ingatan adalah sekumpulan informasi tentang masa lalu. Sayangnya, ingatan membuat melihat kehilangan kejernihan. Salah satu tindakan tersulit dalam hidup manusia adalah “melihat tanpa mengingat”.
Kamar tidak lagi sekedar kamar, tetapi menjadi rangkaian ingatan yang kerap kali berlebihan. Bandara tidak lagi sekedar bandara, tetapi menjadi film pendek dengan pemain yang telah tiada. Di dalam keadaan ini, kejernihan sulit diperoleh. Ketika kejernihan sirna, penderitaan datang menimpa.
Di dalam Zen, penderitaan terjadi, ketika orang tak mengenal diri sejatinya. Ia lalu hanyut dalam emosi dan pikiran yang datang bergantian. Ia mengira, pikirannya adalah kenyataan, lalu hanyut ke dalamnya. Jika pikiran dan emosi indah datang, ia bahagia berlebihan. Ketika pikiran dan emosi jelek datang, penderitaan pun datang berkunjung, dan menyiksa diri secara berlebihan.
Jalan keluarnya adalah dengan berhenti mengingat. Kita perlu belajar untuk melihat tanpa mengingat. Kamar adalah kamar. Bandara adalah bandara. Tidak lebih. Tidak kurang.
Melihat Tanpa Mengingat
Mengingat adalah kegiatan yang mesti ditunda. Ia harus ditempatkan paa tempat yang tepat, yakni ketika diperlukan untuk berkomunikasi dan membuat keputusan. Jika tak ditunda, mengingat adalah tindak mengorbankan kejernihan. Tanpa kejernihan, hidup akan diisi berbagai kesalahan sia-sia.
Bagaimana bila ingatan tak dapat dicegah, bagaikan tamu yang memaksa datang, namun sesungguhnya tak diundang? Jalannya cuma satu, yakni cukup disadari. Lihat ingatan yang datang dan pergi itu apa adanya. Di jalan Zen, inilah yang disebut sebagai pikiran non dual.
Pikiran non dual sebenarnya bukanlah pikiran sama sekali. Ia adalah keadaan alamiah manusia, sebelum pikiran dan emosi muncul. Di titik ini, tidak ada dualisme baik-buruk, benar-salah atau untung-rugi. Ia berada sebelum dualisme.
Sulit? Tidak juga sebenarnya. Jika gagal, silahkan coba lagi. Tidak ada dualisme gagal-berhasil disini. Kembali lagi dan lagi ke titik sebelum pikiran, yakni ke titik non dual ini. Coba terus, jika perlu sampai seribu tahun lamanya.
Selalu Baru
Sejujurnya, setiap saat adalah peluang. Yang dibutuhkan hanyalah secercah kejernihan. Di saat ini, ada surga, tetapi juga bisa ada neraka. Saat demi saat, kita memperoleh kesempatan untuk terus mengubah diri. Setiap saat itu selalu baru. Ia berbeda dengan saat sebelumnya. Ia juga berbeda dengan saat setelahnya. Tak salah jika dikatakan, waktu sekedar ilusi. Yang ada hanya “saat ini”.
Melihat tanpa mengingat adalah peluang untuk menyaksikan keajaiban. Sesungguhnya, setiap saat adalah keajaiban. Matahari masih bersinar. Hidup masih berhamburan dengan meriah. Jika disadari dengan jernih, kita hidup dalam keajaiban setiap detiknya. Mata sudah mulai lelah. Kepala sudah mulai sakit. Badan sudah mulai terasa pegal. Waktunya beristirahat.