Pesan Waisak BE 2558/2014 – Memahami Hakikat Diri & Menyadari Kebuddhaan

(Oleh YM Bhiksu Tadisa Paramita Mahasthavira, Ketua Umum Sangha Mahayana Buddhis Internasional)

Di Hari Raya Waisak, kembali kita memperingati tiga peristiwa agung, yaitu Kelahiran, Kesempurnaan dan Maha Parinirvananya Guru Buddha. Walau Ia dilahirkan di dunia Saha dengan limpahan kasih sayang dan kehidupan mewah tapi karena kesadaran agungnya tumbuh berkembang maka Ia menyadari Hukum Tilakhana (Penderitaan/dukkha, ketidakkekalan/anicca dan tanpa inti/tiada kepemilikan/anatta) sehingga Ia ikhlas dan rela melepaskan tahta, harta dan wanita, pergi bertapa untuk melatih diri, walaupun mendapat godaan, rintangan,  dan gangguan begitu banyak, tapi karena semangat dan tekad luhurnya begitu dalam dan luas maka ia berjuang keras bermeditasi dan menyiksa diri akhirnya cita-cita religious yang tertinggi yaitu: mencapai Kesempurnaan Buddha.

Memperingati Hari Raya Waisak bukan sekedar dirayakan, dikenang, dan diperingati baik secara ritual maupun seremonial, bukan pula sekedar meluapankan kekaguman dan kegembiraan dengan melakukan berbagai kebajikan,  melainkan Hari Raya Waisak adalah kumpulan bukti konkrit dan sejarah harum, bahwa manusia bisa berjuang dan menapak jalan Kebuddhaan. Sehingga hari Raya Waisak adalah momentum untuk menyadarkan semua makhluk, bahwa mereka mempunyai ‘Hakikat Kebuddhaan, Memiliki Hati Buddha, Berpotensi Jadi Buddha, dan Kelak Bisa Jadi Buddha’ asalkan ia menyadari jati dirinya sendiri, melenyapkan kebodohan dan kejahatannya, berjuang untuk menyempurnakan segala kebajikan dan fokus untuk mengembalikan kesucian hati dan pikirannya.

Untuk memahami hakikat diri dan menyadari Kebuddhaan, saat Hyang Buddha mencapai kesempurnaan Buddha di bawah Pohon Bodhi, Beliau mengamati dan menyatakan, bahwa semua makhluk pada hakikatnya memiliki Tathagata Inheren yang mempunyai kebijaksanaan agung dan pahala unggul, dikarenakan pikiran khayal, pikiran melekat dan pikiran jungkir-balik sehingga potensi tersebut tidak dapat digunakan. Bila ketiga pikiran, yaitu: pikiran  khayal, pikiran melekat dan pikiran jungkil-balik dilenyapkan maka semua kebijaksanaan, kebijaksanaan natural, kebijaksanaan tanpa guru, kebijaksanaan tanpa rintangan akan diperolehnya.  Di dalam Sutra Delapan Kesadaran Agung, disabdakan Triloka Dhatu (Karma-dhatu, Rupa-dhatu, dan Arupa-dhatu)  tidak aman untuk dihuni, Bumi loka rapuh dan berbahaya, empat unsur tubuh adalah gabungan kepalsuan, dan Panca Skandha (Rupa, perasaan, pikiran, pencerapan dan kesadaran) realitanya tidak ada. Di dalam Sutra Hati disabdakan:  menembusi hakikat Panca Skhandha adalah sunya dapat terbebas dari segala derita.  Di dalam Dhammapada, Buddha menyatakan bahwa penaklukan atas diri sendiri adalah “Kemenangan Teragung’, bahwa diri sendiri merupakan tempat berlindung, pelindung dirinya sendiri. Suci atau tidak ditentukan oleh dirinya sendiri. Adapun makna berlindung kepada Triratna, Buddha, Dharma dan Sangha adalah: Mengembangkan kesadaran agung melenyapkan ketahayulan. Menegakkan kebenaran melenyapkan kesesatan. Mengembalikan kesucian diri melenyapkan kekotoran batin. Disini perhatian lebih dipusatkan kepada subyek yang alamiah dari pada obyek luar. Karena bila subyek berubah maka obyekpun akan ikut berubah. Sebaliknya bila obyek yang dirubah maka sulit dan mustahil subyek bisa diharapkan berubah. Ada pepatah Tao The Ching mengatakan “Ia yang mengenal yang lain adalah bijaksana, Ia yang mengenal dirinya sendiri adalah cerah”. Pikiran. muncul dalam banyak tingkatan, dalam bidang yang berbeda-beda. Ia banyak aspek dan berbagai fungsi. Contohnya, ada pikiran yang mengamati, pikiran yang berpikir, pikiran yang mempertimbangkan, dan pikiran absolut. Untuk memahami pikiran asli maka pikiran tersebut harus terpisah dari materi, terpisah dari dunia luar, secara khusus mengarah kepada pikiran absolut. Ia menunjukan kepada pikiran di atas pikiran, kepada Hakikat Kebuddhaan sebelah dalam dan menganjurkan kita bergantung padanya. Apa yang dimaksud dengan pikiran? Jawabannya adalah “Pikiran adalah titik kontak kepada realita. Pikiran Absolut adalah realita. Sedangkan Pencerahan adalah pengalaman dari realita”. Adapun praktik meditasi adalah dapat didefinisikan sebagai percobaan yang gigih dari metodologis untuk melihat realita di sebelah dalam. Umumnya kita sebagai umat awam perhatian kita selalu di arahkan ke luar dan dunia. Saat kita melaksanakan latihan meditasi kita mencoba menarik pikiran kita yang terjebak dan melekat kepada obyek-obyek eksternal , untuk melepaskan indria dari rangsangan masing-masing obyek, dan berjuang memusatkan perhatian ke sebelah dalam. Sikap menarik diri ini tercermin dari ekpresi tubuh kita saat meditasi, saat kita duduk bersila dengan tangan di atas lutut. Mata setengah dipejamkan, mewakili pengabaian tidak hanya rangsangan visual tetapi juga impresi indria. Dengan latihan untuk memusatkan pikiran ke sebelah dalam dengan periode waktu panjang. Ini pada akhirnya akan menghasilkan peralihan pusat perhatian dari dunia luar ke pikiran sendiri, sedemikian rupa sehingga saat kita berhubungan dengan kegiatan dunia luar suatu tingkat ingatan sebelah dalam dan mawas diri berlangsung.

Tingkatan selanjutnya yang perlu kita jalani adalah membuat pikiran itu menjadi murni, semakin bersih dan semakin tajam. Yakni setelah berhasil mengalihkan perhatian dari dunia luar kepada pikiran. Kita sekarang mesti beralih dari pikiran rendah ke pikiran yang lebih tinggi. Dalam berbagai tradisi Buddhis kemajuan meditasi diwakili oleh ‘Empat Rupa Dhyana’ (keadaan kesadaran hasil meditasi yang berhubungan dengan dunia bentuk) dan ‘Empat Arupa Dhyana (keadaan kesadaran hasil meditasi yang berhubungan dengan dunia tanpa bentuk). Keadaan–keadaan ini biasanya dianggap sebagai bersama-sama mendirikan satu rangkaian yang berkesinambungan. Keadaan pertama dari empat keadaan meditasi yang berhubungan dengan dunia berbentuk, terdiri dari lima faktor: pikiran yang berusaha memegang obyek, pikiran yang telah memegang obyek, kegiuran, kebahagiaan, dan pikiran yang terpusat. Pada keadaan kedua, pikiran yang berusaha memegang obyek dan pikiran yang telah memegang obyek dihilangkan, dan pada keadaan ketiga kegiuran dihilangkan. Pada keadaan keempat, kebahagiaan digantikan oleh keseimbangan. Pikiran yang terpusat merupakan faktor fisik satu-satunya yang berkelanjut terus. Sesungguhnya, ia tumbuh semakin kuat saat faktor-faktor yang lain lenyap dan ia menyerap energi  yang dikandung mereka.

Empat keadaan kesadaran hasil meditasi yang berkenaan dengan dunia tanpa bentuk, dikenal sebagai kedaan Konsepsi Ruang Tanpa Batas, Keadaan Konsepsi Kesadaran Tanpa Batas, Keadaan Konsepsi Kekosongan dan Keadaan Konsepsi Tanpa Persepsi maupun Non-Persepsi. Nama-nama ini hanya menceritakan sangat sedikit tentang keadaan-keadaan tersebut, yang mewakili pengalaman-pengalaman pemusatan pikiran dan penyatuan yang lebih tinggi dan lebih murni. Bahkan jika telah tercapai kemajuan dari pikiran yang rendah ke pikiran yang lebih tinggi, dan kedelapan keadaan dari kesadaran hasil meditasi telah semuanya di alami dengan menyeluruh, batas dari meditasi belum juga dicapai. Kedelapan keadaan itu adalah relatif dan masih duniawi sifatnya. Mereka bukan absolut, tidak transenden. Realitanya belum dilihat . Setelah mendaki dari pikiran yang rendah ke pikiran tinggi, selanjutnya mesti beralih dari pikiran relatif  ke PIKIRAN ABSOLUT. Karena pikiran relatif dan pikiran absolut, dari sudut pandang pikiran relatif  adalah terpisah sama sekali, peralihan ini hanya dapat dilakukan dengan cara sejenis lompatan eksitensial dari yang satu ke yang lain. Pertanyaan tentang jalan tingkatan dan langkah yang sangat jelas, sudah tidak terdapat lagi. Jalan yang telah demikian lama di tempuh berakhir di tepi sebuah jurang, dan sampai di sini kita tidak memiliki pilihan lain kecuali membuat satu lompatan dalam kegelapan. Dengan lompatan itu, kita mendapatkan diri kita berada di tengah-tengah KESUNYAAN. Gelap menjadi terang. Tiba-tiba dan penuh misteri, pikiran relatif   beralih menjadi pikiran absolut. Ciri-ciri pikiran absolutmelampaui pemikiran, pembahasan yang  bebas dari pikiran diskriminasi dan  dualitas. Pikiran manunggal  sudah sunya. Pikiran sunya juga sunya. Pikiran absolut ini bukanlah subyek, sebagai lawan dari obyek, tidak juga ia adalah obyek dari pikiran itu sendiri. Sebaliknya, ia adalah KESADARAN MURNI yang cermerlang, dan transparan dalam mana subyek dan obyek tidak ada. Shurangama-samadhi Sutra bersabda: Pikiran sejati hanya dapat ditemukan dengan tidak mencari, dengan menyadari, atau dengan kata lain, KESADARAN (Awareness) suci yang non-dual tanpa pemisahan obyek dan subyek. Tujuan dari meditasi dengan demikian telah dicapai. Realita telah “Dilihat” dengan menunjuk pada pikiran. Mencapai pencerahan dan selanjutnya menapak kesempurnaan paramita jadi Buddha.

Demikanlah Pesan Waisak 2014 singkat telah di sampaikan untuk dipahami dan direalisasikan. Marilah kita semua merayakan Hari Trisuci Waisak 2014 dengan menyadari Hukum Tilakhana, menggugu dan meniru keteladanan Hyang Buddha, mengikuti jejak dan menapak jalan Kebuddhaan, untuk mengakhiri segala penderitaan dan memperoleh kedamaian, kebahagiaan dan keselamatan hakiki. Akhir kata Tadyatha Om Gate Gate Paramgate, Parasamgate Bodhi Svaha, semoga semua makhluk berbahagia, Sadhu-sadhu-sadhu.